Chapter 4

6.4K 740 23
                                    

Pagi harinya, Haechan sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Awalnya, Taeyong menyarankan agar ia istirahat selama beberapa hari lagi, namun Haechan menolak. Alasannya, ia takut terlalu banyak mata pelajaran yang tertinggal.

Padahal sebenarnya, dia ingin memberi pelajaran kepada para pelaku bullying di sekolahnya. Yahh... Begitulah, mata untuk mata dan gigi untuk gigi. Haechan ingin mengajari mereka apa artinya bullying itu.

Dikehidupan lamanya, ia juga sering membully anak-anak lain dan berkelahi dengan geng sekolah lain. Haechan melakukannya semata-mata untuk mencari perhatian sang ayah, tapi yang ia dapat adalah kata-kata amarah dan hukuman.

Karena hal itu, ia menjadi semakin benci keluarganya.

Dikehidupan ini, ia sudah berjanji akan menjadi anak yang baik. Jadi ia tidak akan melakukan hal-hal yang dilakukannya dulu. Tapi sebelum itu dia harus memberi pelajaran pada anak-anak sialan itu.

"Nahh.... Kalian suka membully ku kan? Maka tunggu aku..." gumamnya saat melihat pantulan dirinya di cermin.

"Haechan-ah!! Cepatlah, kita berangkat bersama!" seru Jeno yang melewati kamarnya.

"Iyaa!!" balasnya singkat, Haechan membawa tas ransel berwarna coklat dan beberapa buku tebal untuk pelajaran sejarah.

Setelahnya, ia menyusul Jeno yang sudah duduk di meja makan bersama sang ayah. Sementara ibunya tengah membuat sarapan.

"Pagi ma, pagi pa!" sapa Haechan sambil tersenyum lebar, tak lupa mengecup pipi sang ayah dan memeluknya dari belakang.

"Pagi Haechannie..." balas keduanya.

Jeno mendelik kesal, "kenapa aku tidak disapa?!"

"Kenapa aku harus menyapamu?" Haechan malah balik bertanya. Jeno lantas mendengus pelan dan kembali fokus pada ponselnya.

Jaehyun dan Taeyong tertawa kecil karena Jeno yang kesal. Sementara Haechan tersenyum puas karena bisa membuat saudaranya kesal.

Setelah selesai sarapan sederhana buatan sang ibu, keduanya pamit untuk berangkat. Jeno membonceng Haechan menggunakan sepedanya, yang ia beli dengan uang hasil kerja paruh waktu di gelanggang renang sebagai pelatih anak-anak.

Ya, Jeno sangat pandai berenang dan bahkan pernah menjuarai kompetisi renang tingkat nasional. Bahkan sampai sekarang pun dirinya sering diikutkan dalam kompetisi renang di sekolah.

Awalnya ia ingin membeli sepeda motor, namun karena uangnya tidak cukup dan ia yang masih belum legal Jeno mengurungkan niatnya untuk membeli kendaraan roda dua itu.

Jadilah dirinya membeli sepeda sebagai transportasi untuk ke sekolah. Ia juga sering membonceng Haechan untuk pulang pergi, takut jika membiarkannya berangkat sendiri menggunakan bus gadis itu diganggu pria tak dikenal.

Namun, karena hal itu pula Haechan menjadi korban bullying teman-temannya. Jeno adalah salah satu prince charming sekolah mereka, dan memiliki banyak pengagum. Dengan Haechan yang diboncengi setiap hari seperti itu, banyak dari mereka yang iri padanya.

Omong-omong, tidak ada satupun siswa siswi di sekolah mereka yang tahu bahwa keduanya adalah saudara kembar.

Jadilah semakin banyak yang membully Haechan.

Saat sampai di tempat parkir khusus siswa, Haechan turun dari jok belakang sepeda saudaranya. Lalu menepuk pundak pemuda yang sedikit lebih tua darinya, "aku duluan."

Tapi sebelum dirinya melangkah, Jeno menahan tangannya. "Tunggu, kita pergi bersama."

"Kau tidak takut fansmu mengamuk ya?" tanya Haechan sambil memiringkan kepalanya.

Jeno tersenyum dan mencubit pipi gembil saudarinya gemas, "aku tidak peduli dengan apa yang orang lain katakan, apa yang aku pedulikan adalah apa yang keluargaku katakan dan rasakan. Perasaan mereka lebih berharga daripada emas ratusan karat."

Haechan tertegun, dan wajahnya lantas menjadi korban cubitan Jeno yang gemas padanya.

"Sudahlah, ayo cepat. Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi." ujar Jeno membuyarkan lamunannya.

Mereka berjalan berdampingan di koridor kelas, banyak siswa maupun siswi yang membicarakan mereka dengan suara pelan.

"Lihat! Dia sudah kembali sekolah, bukankah dia hampir mati?"

"Pelacur itu berani sekali datang bersama Jeno, belum pernah merasakan air toilet ya?!"

"Kenapa dia tidak mati saja sih?! Mengganggu pemandangan saja! Dasar jelek, gendut, penuh jerawat lagi!!"

"Benar!! Kenapa juga Jeno bisa tahan berada disampingnya??"

Kira-kira seperti itulah bisikan yang mereka berdua dengar, hampir saja Jeno memukul wajah orang yang menyumpahi adiknya itu jika Haechan tidak menahannya.

"Ingat kata-katamu tadi, jangan menjilat ludahmu sendiri. Jadilah pria sejati." Haechan mengingatkan dengan suara kecil.

"Tapi..."

"Akan ada saatnya dimana mereka akan menjilat sepatuku, kau tidak perlu marah hanya karena kata-kata busuk mereka." potong Haechan dengan suara lantang, yang mana pasti didengar siswa siswi di koridor itu.

"Cih!! Percaya diri sekali kau jelek!!" umpat seorang siswa.

"Mati sana!!" timpal yang lainnya, anak itu juga melempar Haechan dengan kertas bekas.

Namun, Haechan bertindak seolah-olah tidak ada yang terjadi. Membuat Jeno sedikit lega karena saudarinya tidak menghiraukan ucapan siswa-siswi itu.

Malahan gadis itu tersenyum manis, dan sesekali mengangguk saat ada siswa yang memakinya. Bahkan tak jarang ia juga mengucapkan terima kasih, membuat Jeno tak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh adiknya itu.

Setibanya didepan kelas Haechan, mereka berpisah. Keduanya tidak satu kelas karena keinginan Haechan saat pertama kali masuk sekolah.

"Jaga dirimu baik-baik, jika ada sesuatu hubungi aku secepatnya." pesan Jeno, tangannya menepuk kepala yang lebih pendek darinya itu pelan.

Haechan hanya mengangguk pelan sambil memegangi tali selempang tasnya, lalu masuk kedalam diikuti tatapan kebencian dan jijik dari teman-teman sekelasnya.

Tentunya ia tak peduli dengan semua tatapan itu, toh dia datang ke sekolah untuk belajar dan membalas dendam jika saatnya tiba.

Ah jangan lupakan bahwa dia juga harus menyembuhkan jerawat di wajahnya.

To be continued

_________

Oke see u babay

Reborn as a GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang