"Pah," Alana membuka pintu kamar Bima dengan perlahan. Di lihatnya keadaan sekitar, tak ada tanda-tanda Papa nya di sana. Alana masuk dan menghirup aroma Papa nya di kamar itu. Alana membaringkan tubuhnya di sana berharap guling yang dipeluknya adalah tubuh Papa nya, Bima.
Takut papanya pulang, Alana segera keluar dari sana. Tapi sebelum itu, Alana tak sengaja melihat foto Mama nya di sana. Alana menatap foto itu lama lalu berlalu keluar dari sana.
"Huft semoga ini benar," ujar Alana seraya menghembuskan nafasnya.
"Bi," Alana memanggil bi Mun yang sedang menyiapkan makan malam.
"Biar Alana bantu ya, Bi."
"Iya, Non."
"Bi, bibi harus sering-sering liatin Papa ya, Bi." Mendengar itu bi Mun memandang Alana dengan heran.
"Pasti atuh, Non,"
"Kalau Papa nggak mau makan, bilangin ke Papa, Alana gak mau Papa sakit." Bi Mun mendadak diam mendengar Alana bicara.
Alana menghadap ke arah wanita itu dan memeluknya dengan erat. Menangis di pelukan wanita yang sudah merawatnya.
"Bi, Alana sayang banget sama, Bibi." Alana melepaskan pelukannya dan mengelus tangan wanita itu. "Bibi harus rawat tanaman Alana ya, Bi. Jangan biarin mereka mati, Bi."
"Bi, bilangin ke Papa kalau Alana udah ketemu sama Mama, Bi." Alana terus bercerita sambil memeluk pinggang wanita itu dari samping.
"Bilangin juga ke Papa, Bi. Mama baik, Mama meluk Alana saat Alana butuh pelukan. Bilangin ke Papa, Bi, Mama sayang sama Alana, nggak kayak Papa, hiks Papa sering marahin Alana, Papa benci Alana, Bi hiks Papa selalu ngancem mau jauhin Alana dari dia, Bi."
"Apa kalau Alana buat suatu kesalahan lagi, Papa akan beneran ngirim Alana jauh, Bi?" Alana mengadu layaknya anak kecil.
"Bi, hari ini Alana akan mulai semuanya dari awal, Bi,"
"Alana gak mau jauh dari Papa, hiks Al-alana gak bisa hidup tanpa Papa, Bi."
"Iya, Non," wanita itu menangis mendengar curhatan Alana.
"Bi, kalau Bian datang kesini nyariin Alana, suruh Bian naik keatas aja ya, Bi. Suruh Bian masuk kedalam kamar Alana, bilangin ke Bian, jangan dobrak pintu Alana lagi, nanti pintu kesayangan Alana rusak."
"Bi, Alana sayang banget sama mereka, Bi."
Alana menutup hidungnya saat menyadari sesuatu keluar dari sana."Bi, Alana ke kamar dulu. Bibi jangan lupa pesan Alana tadi, ya." Alana berlari agar cepat sampai ke dalam kamarnya.
Begitu sampai di sana Alana segera jatuh ke bawah lantai dengan tangan yang penuh oleh darah.
Alana meraung memukul dadanya yang tiba-tiba sesak seperti di tusuk oleh ribuan jarum.
Alana mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi nomor Bian, tapi tak kunjung di angkat. Alana melihat info WhatsApp Bian Last seen 22.33 P.m yang berarti di sana sudah 02.34 A.m.
Alana memeluk lututnya dengan erat dan menangis seorang diri di ruangan gelap itu.
♡︎♡︎♡︎♡︎♡︎
Canberra, Australia.
Bian baru saja selesai mandi dan meminum susunya setelah itu memakai sepatunya dan pergi keluar apartemen nya untuk menjemput tunangannya seperti biasa.
Bian semalam bermimpi tentang Alana yang tengah berlari mengejarnya. Di mimpi itu Bian seperti patung yang tidak bisa bergerak atau bahkan berbicara. Bian hanya bisa memperhatikan Alana yang tengah berlari ke arahnya, tapi Alana semakin lama semakin jauh dari hadapannya.
Bian panik dan tanpa sengaja mengeluarkan air matanya saat melihat Alana tiba-tiba saja menangis karena tidak bisa menggapainya.
"Bian jangan pergi,"
"Bian... aku mohon kembali,"
"Bian, kamu lupa sama janji kamu? Kamu bilang kamu gak akan pernah ninggalin aku, tapi ini apa?"
"Kamu pergi ninggalin aku sendiri."
Alana menangis sambil menatap ke arah Bian yang diam dengar air mata yang mengalir.
"Kembali Bian, aku butuh kamu."
"Makasih," Bian mengangguk dan kembali melajukan mobilnya menuju sekolahnya setelah mengantar tunangannya ke sekolah yang berbeda dengannya.
Begitu sampai di kelasnya, Bian duduk sambil termenung dengan terus mengingat mimpinya kemarin.
"Semoga kamu baik-baik aja, Lana." Gumam Bian seraya membuka bukunya saat guru sudah masuk ke dalam kelas.
Jakarta, Indonesia.
Alana tengah menutup pintu kamarnya pelan dan berjalan mengendap-endap untuk keluar rumah dan menaiki taksi online yang sudah di pesannya.
Sebelum itu dia menatap sekali lagi rumah nya dan menyuruh supir itu mengantarnya ke alamat yang akan di tujunya. Alana sampai di depan rumah sakit, di sana dia melihat dengan jelas Ibunya tengah menangis di depan sebuah ruangan dengan pria yang setia memeluk dan menenangkan Ibunya.
Alana memegang dadanya dan kembali menatap kearah wanita yang sedang menangis di pelukan Pria itu. Alana sudah memutuskan. Dia akan kembali hidup bersama Mama nya, dan menjauh dari Bima, Papa nya.
Berat memang, tapi Alana sudah memikirkannya dengan baik.Dan satu-satunya pilihan terbaik adalah hidup bersama Mama nya dan melihat Mama nya bahagia. Alana meninggalkan rumah sakit dan menuju ke kantor Bima. Sesampainya di sana Alana menanyakan kepada resepsionis dimana ruangan Papa nya.
"Ruangan pak Bima dimana ya, mba?" Tanya Alana.
"Maaf, adek siapanya, pak Bima?" Wanita itu memperhatikan Alana dengan intens.
"S-saya pu-- keponakannya,"
"Oh, sebentar ya, Dek." Resepsionis itu menelfon seseorang di ujung sana lalu kembali menatapnya.
"Pak Bima ada di ruangan meeting. Kamu bisa tunggu di ruangannya pak Bima. Mau saya antar?" Tanya wanita itu membuat Alana menganggukkan kepalanya.
Alana melihat-lihat kantor Papa nya, dan memasuki ruangan kerja Bima yang sangat luas. Dilihatnya meja Papa nya yang begitu rapi. Alana mengucapkan terima kasih kepada wanita yang sudah mengantarkannya tadi.
Ceklek
Alana menoleh kearah pintu, di sana Bima berdiri sambil melihat ke arahnya dengan heran karena berkunjung ke kantornya. Dia berjalan menghampiri Alana dengan tatapan seperti biasa.
Pria itu terkejut saat tiba-tiba Alana memeluknya erat, sangat erat. Bahkan saat Bima mencoba melepaskan pelukannya gadis itu justru makin mengeratkan pelukannya. Bima diam tanpa membalas pelukan Alana. Membiarkan Alana pada posisinya.
Mendengar suara tangis Alana membuat dirinya merasa bersalah sekaligus heran dengan tingkah Alana hari ini. Dengan gengsi dia memegang bahu Alana dan melepaskan pelukannya, tapi Alana menguatkan pelukannya hingga Bima jengah dan membiarkan Alana tetap memeluknya.
"Alana mau minta maaf," Bima diam tak ingin membalas perkataan Alana.
"Alana sayang sama Papa," gadis itu makin mengeratkan pelukannya saat merasa tubuhnya mulai lemah dan butuh penopang. Alana merasakan sesuatu keluar dari hidungnya dan mengalir deras. Alana juga merasakan pusing yang luar biasa.
"Apa ini waktunya? Tapi Alana masih betah di pelukan, Papa," batinnya.
******
TbcSPAM NEXT!
15 Maret 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANA (REPUBLISH)
Novela JuvenilCover by me [FOLLOW SEBELUM MEMBACA!!] Budidayakan meninggalkan jejak seperti VOTE DAN KOMEN! ♡︎♡︎♡︎♡︎♡︎ "Only one day," Alana menatap Bian yang tengah menatapnya. "LO COWOK BRENGSEK BIAN! LO BILANG BAKAL BUAT ALANA BAHAGIA?! TAPI INI APA? LO NYAK...