3. TRAGEDI KANTIN

1.4K 197 16
                                    

Ia terlihat tengah termenung di meja kebesarannya. Kerutan dahi dengan pandangan menerawang jauh, rasanya sudah cukup untuk menjabarkan betapa lelah dan kalut pikirannya kini.

Sebagian jiwa telah kembali. Ia membuka laci di sampingnya lantas mengambil potongan-potongan kertas glossy bergambar itu.

Dipandanginya lekat foto buram lima remaja di genggamannya. Ia tersenyum, merasa seakan kembali pada masa itu.
"Aku ngga tau ini bener atau engga, Di. Tapi aku harap ini yang terbaik buat mereka."

***

Rabu pagi menjelang siang ini, kelas X IPA 3 akan melakukan pembelajaran di luar ruangan. Setelah beres mengganti seragam dengan kaos olahraga, satu persatu siswa mulai menuju lapangan yang ditentukan.

Sekitar satu minggu lalu guru olahraga memang memberitahu akan melakukan pengambilan nilai bermain voli. Jadi saat ini meski tanpa komando apapun, mereka sudah tahu harus bagaimana.

"Anna. Nitip kacamata ya. Aku mau ambil nilai. Tadi aku lupa taruh di kelas dulu." Lisa menghampiri Rosa yang tengah bersenda gurau dengan temannya di bawah pohon rindang, menyerahkan kacamata bacanya.

"Oh iya, bang."

"Kok udah makan aja?"

Bukan tanpa alasan Lisa bertanya seperti itu. Gerombolan Rosa ini sedang berleha-leha di bawah pohon saat jam pelajaran masih berlangsung. Ditambah berbagai piring makanan yang tengah mereka kelilingi membuat Lisa sedikit penasaran.

"Hehe. Jamkos, bang."

"Oh..." Lisa memanggut paham.
"Abang ke sana dulu. Makasih ya." Usai mengucapkan itu, Lisa kembali memutar arah menghampiri sekumpulan teman sekelompoknya berada.

"Udah?" Bambam yang juga salah satu anggota kelompok Lisa bertanya.

Lisa tersenyum kecil.
"Udah."

"Eh, pak Rangga udah dateng. Ayo baris!"

Mendengar interupsi sang ketua kelas, siswa-siswa yang awalnya bergerombol di setiap sudut teduh lapangan itu langsung berkumpul menjadi satu.

Diawali dengan do'a, pembelajaran olahraga kelas Lisa pun dimulai. Menyuarakan hitungan serempak, pelajar lelaki dan perempuan yang berjumlah lebih dari 30 itu melakukan pemanasan. Setelah dirasa cukup, mereka kembali berpencar siap pada pelajaran inti.

"Sambil nunggu perempuan selesai ambil nilai, kalian boleh latihan dulu. Di lantai bawah kantor masih ada bola voli dua." Arahan sang guru pada murid-murid lelakinya.

Siswa perempuan mulai bermain. Awal permainan cukup bagus dilakukan oleh masing-masing tim. Menyaksikan mereka bermain, para pelajar laki-laki juga tidak ingin tinggal diam. Mereka bersorak-sorai menyemangati tim jagoan masing-masing. Bahkan geng Rosa pun tak ketinggalan menyuarakan kata-kata semangatnya.

"RETNOOOO!! AKU PADAMUUU!! SEMANGAT SAYAAAANGG!!"

"PRIL! JANGAN LARI! NANTI GEMPA!!"

"ZEA! ZEA! ZEA!"

"WHUUUU!! SELE OLEEE JANGAN LEMBEK NANTIII!!"

Tak peduli kelas lain akan terganggu, teriakan dari belasan siswa itu tetap pada volume tertinggi. Suasana semakin ramai kala beberapa siswa laki-laki memukulkan botol-botol kosong di bibir lapangan menciptakan suara-suara nyaring bak pertandingan bola di stadion.

Tapi sayang. Mungkin untuk mempersingkat waktu, permainan yang dilakukan hanya sampai salah satu tim mendapatkan skor sesuai jumlah tim saja. Jadi setiap satu tim mencetak skor, maka formasi voli akan di ubah sehingga semua anggota pasti mencicipi tiap titik-titik barisan.

EIS:SIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang