Pemakaman Jungwon berjalan lancar. Suara tangis sang ibu membuat keenam pemuda penghuni kosan tersebut merasakan sakit dan rasa bersalah di hati mereka. Mereka tak mampu menjaga teman mereka sendiri.
Sekarang, acara pemakaman sudah selesai. Tinggal mereka berenam saja di sana, memandang batu nisan baru berukiran Jungwon Nathaniel Maximilian.
Heeseung mengusap batu nisan tersebut penuh kelembutan, hatinya sesak. "Andai aja gue gak biarin lo di kamar seharian, lo pasti masih ketawa bareng kita."
Sunghoon juga sama sesaknya. Andai saja dia memaksa Jungwon keluar kamar, Jungwon pasti baik-baik saja.
"Kak Jayden, ini bukan ulah lo kan?" Ni-Ki bertanya. Dengan pakaian sangat tertutup─ karena takut kotor ─ tersebut, ia menunjuk Jay. "Lo pingin Kak Nathan mati, mungkin aja kan?"
"Makanya, kalau ngomong tuh dijaga. Gak ada yang tau apa yang bakal terjadi selanjutnya," sambung Sunoo mulai julid.
"Kalian nyalahin gue? Woi, kematian juga gak ada yang tau!" Balas Jay tak habis pikir, bisa-bisa mereka menuduhnya yang jelas-jelas tidak ada di lokasi.
"Habis ini siapa lagi yang bakal lo harapin mati?" Tanya Ni-Ki mendongak berani.
"Yah, balik ke sifat awalnya. Denger, kemarin gue kelepasan ngomong karena gue kesel."
"Yakin?"
"Anjing."
"Di kuburan berantem? Wow, kalian mancing petaka," sindir Jake mulai muak mendengar. "Rubik tinggal tujuh belas, harusnya kalian mikir! Kita belum nemu titik terang tentang masalah ini, kalian mau mati gak jelas kayak Nathan?"
"Bisa-bisanya lo ngomong kayak gitu disaat temen lo baru aja mati, Jake," desis Heeseung marah, berdiri dari posisinya.
"Loh, apa yang salah? Matinya Nathan kan emang gak jelas."
BUGH!
Bogeman keras melayang ke wajahnya, Jake terhuyung ke belakang sambil memegang pipi kirinya. Ada rasa syok di hatinya, begitu juga yang lain.
Kalau Jay dia tidak heran lagi, tapi ini Sunghoon! Sunghoon yang tak pernah berkelahi baru saja memukulnya!
"Gue hajar lo sampai mati kalau lo ulangin lagi," ancam Sunghoon tak main-main, sebelum pergi meninggalkan area pemakaman sambil merapikan lengan jas hitamnya.
Sunoo yang dilewati Sunghoon sampai tak berani bergerak sedikit pun. Aura pemuda tampan itu dingin sekali. Ternyata benar perkataan orang, orang yang tak pernah memancing keributan sangat seram jika marah.
"Di dalam rubik ke tujuh belas ada kertas," ucap Heeseung agar situasi tak canggung. "Ada tulisan di kertasnya. Pertama. Itu isinya."
"Umur pertama? Lo yang paling tua," kata Sunoo tak yakin. "Atau mungkin peringkat?"
Semua menatap Jake. Pemuda itu sangatlah pintar, mungkin itu maksud dari isi kertasnya. Tapi, isi kertas tersebut mengarah kemana? Tidak mungkin kalau sebatas peringkat.
"Ayo pulang, disini kotor," ajak Ni-Ki tak tahan lagi, badannya pun gerah akibat sinar matahari yang begitu terik.
"Beli makan dulu, kalian belum sarapan," balas Heeseung beranjak pergi dari makam Jungwon dengan perasaan berat.
"Kak Hazen..." panggil Sunoo, dia telah menemukan jawabannya. "Sebentar lagi ganti bulan. Mungkin maksud isi kertasnya itu tanggal pertama di bulan tersebut, tanggal 1, tiga hari lagi."
"Dan menurut lo bakal ada yang mati di tanggal itu?"
"Kalau gue boleh berpendapat, gue yakin yang bakal mati si Jake," ujar Jay serius, masa bodo dimarahi lagi. "Ada alasan kenapa gue mikir itu."
"Lo kesel kan sama Jake?"
"Bukan."
"Terus?"
"Tanggal 1 bulan depan itu hari dimana Kak Jake dapet peringkat pertama di olimpiade fisika internasional. Bisa jadi kan..." Ni-Ki menyahut khawatir.
"Gue kurang yakin," bantah Heeseung. "Jake belum pernah mimisan atau muntah darah sebelumnya, gak mungkin dia yang mati."
"Lo juga belum pernah ngalamin itu, Kak Hazen... kemungkinan besar yang mati selanjutnya gue atau Kak Sena," ucap Ni-Ki sendu.
"Uhuk!"
Tepat setelah Ni-Ki berbicara, Jake tiba-tiba batuk kencang, seketika mulutnya penuh darah hingga ke dagunya. Tak lama kemudian, ia mimisan, sebelum jatuh pingsan setelah menunjuk sosok mengerikan yang dilihat Ni-Ki, Jungwon, dan Sunghoon sebelumnya.
Disinilah Sunghoon berada, di depan sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Ia menggenggam kubus rubik ke tujuh belas erat-erat, lalu masuk ke dalam kafe untuk bertemu pemiliknya.
Kafe cukup sepi, mungkin ia pengunjung pertama yang datang. Karena saat ia masuk, para pelayan yang awalnya mengeluh langsung menyambutnya.
Tapi tujuannya bukan untuk makan, dia harus bertanya.
"Pemilik kafe hari ini datang gak?" Tanya Sunghoon tersenyum ramah.
Si pelayan wanita hampir menjerit karenanya. "Ada di ruangannya, ada yang bisa saya bantu?"
"Makasih."
Pft.
Sunghoon bergegas ke ruangan si pemilik kafe. Tidak perlu takut tersasar, dia hapal betul letak ruangan di kafe ini karena sering berkunjung.
Tok tok tok
"Masuk aja!"
Pintu dibuka. Rupanya si pemilik kafe sedang sibuk dengan aktivitas menulisnya. Tidak heran dia mendapat julukan si maniak menulis sampai tangan keriting seperti mie instan.
"Saya gak ganggu waktunya, kan?"
Suara Sunghoon membuat si pemilik kafe mendongak, dia tersenyum ramah dan mengisyaratkan Sunghoon untuk duduk. Sudah lama temannya itu tak berkunjung.
"Gue lagi gak sibuk banget, tenang aja."
"Bagus kalau begitu."
Langsung saja Sunghoon letakkan rubik yang ia bawa ke atas meja. Mimik wajah si pemilik kafe berubah drastis, dia panik.
"Darah, rasa sakit, pembunuhan, kematian, habis tak tersisa. Lo dapet dari mana?!"
Sudah ia duga, pemilik kafe bernama Nicholas Ewald Fransisco tersebut bisa diandalkan.
"Rubik ini muncul tiba-tiba di tas temen kosan termuda saya. Entah dari mana saya gak tau, kejadian aneh terjadi setelahnya. Satu teman saya meninggal tadi malam, mungkin setelah ini giliran saya."
"Lo harus cari jawaban secepatnya atau lo dan temen-temen lo bakal mati," ucap si pemilik kafe tersebut. "Yang gue liat dari rubik ini, cara berhentiinnya adalah lo bunuh setannya, lo bakar rubiknya setelah tau siapa pelakunya. Oh ya, bilang ke Ricky, dia harus tau banyak."
"Hah?"
"Dia harus tau banyak."
"Kenapa Ricky? Apa karena dia penghuni kosan termuda?"
"Dia kuncinya. Ricky adalah kunci dari teror hantu yang kalian alami selama dua puluh hari. Hati-hati, lo boleh percaya ke dia tapi jangan terlalu jauh, atau lo dan temen-temen lo bakal mati, tanpa sisa."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.