Sirine ambulance dan polisi memecah keheningan di tengah malam. Warga setempat dibuat terusik dari tidurnya. Mereka keluar dari rumah karena penasaran, apalagi ambulance, mobil polisi, beserta satu mobil di paling depan berhenti di depan rumah keluarga Rika yang terkenal tidak waras.
Ije turun pertama, disusul Nicholas dan Wren. Mereka berlari kencang masuk ke dalam, khawatir akan nasib tiga orang yang akan menjadi tumbal. Disela berlari, mereka bertiga tidak merasakan aura jahat, hanya makhluk halus biasa dan tidak menganggu yang mereka lihat dan rasakan. Aneh, apa yang terjadi di sini?
"Di mana pintu ruang bawah tanahnya?" Tanya Nicholas kalang kabut. Setelah mendapat telepon dari Ni-Ki sepuluh menit yang lalu, mereka tidak bisa tenang barang sedetik pun.
Ije menunjuk salah satu kamar. "Di kamar Rika!"
Dari mana Ije tahu kalau itu kamar Rika? Ada papan kecil yang tergantung di pintu, papan tersebur bertuliskan nama Rika. Lalu dari mana mereka tahu kalau pintu ruang bawah tanah ada di sana? Ni-Ki yang memberi tahu melalui telepon sebelum dimatikan sepihak.
Ketiganya berlari masuk ke sana. Asap dan bau gosong tercium, pintu ruang bawah tanah terbuka lebar, dari sana bau dan asap berasal. Aura dari sana begitu kuat, menusuk raga dan batin. Akan tetapi, mereka menepis hal itu, berlari turun dengan langkah lebar, melewati dua tangga setiap pijakan.
Kondisi ruang bawah tanah sangat pengap dan parah. Aroma darah dan bau gosong tercampur. Ada tiga mayat di sana, dua laki-laki dan satu perempuan. Ketiganya sama-sama menggenaskan, hanya saja salah satunya mengalami luka tikam, bukan luka bakar hingga wajahnya tidak dapat dikenali. Sementara dua mayat lainnya sangat parah, seluruh tubuhnya terbakar. Ije, Nicholas, dan Wren langsung tahu mayat siapa itu.
Biarkan ketiga mayat itu diurus oleh polisi dan pihak rumah sakit. Kini, mereka memandang satu orang yang berhasil hidup dan lolos dari tumbal, meringkuk di sudut ruangan dengan tatapan kosong namun mengeluarkan air mata. Wajahnya pucat, tubuhnya gemetar, matanya memandang ke arah lain, tidak berani melihat tiga mayat di depannya.
Nicholas mendekat pelan-pelan. "Jayden... lo aman sekarang, lo bisa hidup tanpa teror setelah ini. Lo berhasil, Jayden," ucapnya seraya terus melangkah tanpa ragu.
Jay bergeming, tidak bersuara bahkan menoleh. Nicholas paham, Jay mengalami trauma. Dia menghela napas, tersenyum kecut. "Gue harap lo baik-baik aja."
Tiga bulan kemudian...
Yefta merasa sesak di dada. Untuk kedua kalinya, dia merasakan rasa yang sama kala teman baiknya dinyatakan mengalami gangguan kejiwaan. Di sinilah dia berdiri, di depan kaca yang menjadi pembatas antara dirinya dan Jay. Jay tidak boleh ditemui karena kondisinya yang tak kunjung membaik. Ibunya sendiri pun tidak bisa masuk karena Jay akan berteriak marah dan hendak menyerangnya. Tidak hanya kepada ibunya, tetapi kepada perawat perempuan juga. Dokter mengatakan Jay berhalusinasi melihat Rika setiap melihat perempuan.
Ibu Jay sangat sedih, ayahnya pun tidak dapat berbuat apa pun selain mendoakan kesembuhan anaknya, begitu pun Yefta yang senantiasa menjenguk dan berdoa agar kedua temannya segera sembuh dan bisa berkumpul seperti biasa.
"Jayden, kosan tempat lo dan temen-temen lo tinggal udah digusur. Semua barang-barang temen-temen lo begitu juga barang-barang lo udah balik ke tangan orang tua masing-masing. Semua pengalaman buruk terkait teror udah gak ada," Yefta terus memandang Jay yang termenung menatap keluar jendela, "maaf karena gue gak datang, maaf karena gue gak berbuat banyak, gue minta maaf..."
Tangan seseorang mendarat di pundak, Yefta berjengit kaget dan hampir berteriak jika orang yang menepuk pundaknya tidak segera membekap mulutnya. Yefta mendengus, menepis tangan orang itu. "Gak usah ngagetin," kesalnya lalu kembali menghadap kaca untuk melihat Jay.
Orang itu terkekeh geli. Barulah Yefta menyadari siapa yang bersamanya. Sontak dia memekik gembira. "Nalen?! Kenapa lo bisa ada di sini?!"
Sungguh mengejutkan melihat teman yang seharusnya berada di rumah sakit jiwa berkeliaran bebas di rumah sakit jiwa lain. Apa dia ingin pindah tempat?
"Gue dibolehin keluar sebentar, ada dua orang yang tungguin gue di luar. Skizo gue udah mendingan, makanya gue bisa ada di sini." begitu kata Nalendra, setelahnya dia ikut memandang Jay, "gimana kondisinya?"
"Gak ada perkembangan," jawab Yefta, "dia sama kayak lo, skizofrenia, gangguan halusinasi. Setelah kejadian hari itu, dia mulai bertingkah aneh, dan ternyata bener pas diperiksa dokter."
"Gimana soal temennya itu?"
"Ganta, Ricky, dan kakaknya dimakamin. Bedanya, Ricky sama Ganta dimakamin layaknya orang normal, orang tuanya Jayden yang urus pemakamannya, kalau si Rika yang urus polisi. Gak ada yang mau urus pemakamannya, semua orang benci dia. Untuk iblis yang ada di badan Ricky, Nicholas bilang dia udah pergi dan gak akan balik lagi. Rumah mereka bakal digusur lusa, semua hal yang berhubungan sama sekte bakal diusut lebih dalam sama pihak yang berkemampuan."
Kemudian Yefta menatap Nalendra. "Soal lo yang mau jadi tumbal, lo tenang aja, lo aman. Ije sama Theo udah urus semuanya. Sekarang yang perlu lo pikirin adalah kesembuhan lo. Gak perlu takut gue pergi, gue kan sahabat setia," celetuknya.
"Sahabat setia ceunah."
Yefta tertawa saat Nicholas datang dan membalas ucapannya. "Gue bener, loh. Gue kan orangnya setia, apalagi ke pasangan hidup."
"Iyain aja deh."
Nicholas mendekat ke kaca, melihat bagaimana kondisi Jay. Dia merasa bersalah karena datang terlambat, tetapi waktu tidak bisa diulang. Andai saja dia tidak dihadang oleh hantu suruhan Rika, mungkin saat itu dia bisa menyelamatkan Sunoo dan Ni-Ki dan Jay tidak akan seperti ini.
"Jangan merasa bersalah, semua ini udah takdir Tuhan," kata Yefta, "mau ke Gereja? Ayo berdoa di sana, kita tenangin pikiran."
Nalendra mengangguk. "Gue ikut, masih ada waktu setengah jam lagi sebelum balik ke rumah sakit."
Benar, Nicholas harus ke sana untuk menenangkan pikiran dan berdoa agar mereka dijauhkan dari hal buruk yang tidak diinginkan. Dia pun tersenyum, tidak pada Nalendra dan Yefta, melainkan kepada Jay.
"Get well soon, Jayden. Temen-temen lo masih nunggu lo untuk datang ke rumah mereka, rumah terakhir mereka. Dan mereka bakal setia di sana sampai lo datang dan berdamai sama semuanya."