"Yang harus disalahkan itu kalian, yaitu pihak rumah sakit! Enak aja malah salahin saya!" Protes Jay.
Jadi begini, saat tiba di rumah sakit lima menit yang lalu, pihak rumah sakit menyalahkan Jay atas kematian Heeseung. Enak saja, mereka yang tidak becus dalam hal keamanan malah menyalahkan dirinya. Mentang-mentang polisi masih di perjalanan seenaknya saja melempar kesalahan.
"Mana rekaman cvtv? Saya mau liat!"
"Anda tidak bisa-"
"Kenapa gak bisa? Karena saya gak punya wewenang apapun disini? Terus kalian mau rumah sakit ini dibeli ayah saya? Mau?! Kalau mau ya sudah, saya tinggal telpon ayah saya, kalau ayah saya setuju dan berjalan lancar saya pastikan kalian semua akan dipecat karena tidak becus dalam bekerja!"
Jay tidak malu menjadi pusat perhatian, Jay tidak peduli pandangan semua orang tentang dirinya, Jay tidak peduli pihak rumah sakit akan menuntutnya, dia butuh kejelasan.
Lagipula kalau Jay dituntut mudah saja untuk bebas, toh dia tidak bersalah dan tidak ada bukti. Bila pihak rumah sakit terus menuntutnya tinggal dituntut balik, mudah sekali.
"Dimana Jake? Saya mau ketemu temen saya," tanya Jay setelah meredam emosinya. "Kalau kalian gak mau kasih tau, saya bakal acak-acak rumah sakit ini, saya gak main-main."
"Ruang Mawar nomor 2."
Tanpa berterima kasih Jay segera menuju kesana untuk melihat kondisi sang teman yang katanya mimisan hebat dan berhenti dua jam kemudian. Selain itu dia marah, pihak rumah sakit ada masalah apa sih?
Begitu sampai disana, Jake langsung terlihat olehnya, duduk dengan tatapan kosong dan wajah yang pucat. Mengerikan, orang itu seperti zombie.
"Jayden... semuanya salah gue."
Jay yang hendak menyapa langsung terdiam di tempat. Tidak, itu bukan salah Jake... itu salah hantu itu...
"Gue terlalu bodoh karena terima kopi dari satpam tanpa tanya kenapa gue harus terima itu, gue terlalu bodoh untuk sadar kejanggalan, gue terlalu bodoh untuk kalian, gue gak bisa jaga temen gue sendiri, Jayden..."
"Itu bukan-"
"Usaha gue selama ini sia-sia, usaha gue untuk lindungin kalian diam-diam gak berguna, maafin gue... gue salah, gue yang salah."
Baru kali ini Jay melihat Jake seperti ini, frustasi sampai tidak memikirkan dirinya sendiri. Jake memang selalu mendahulukan orang lain, namun kali ini dia benar-benar berbeda dari sebelumnya. Jake sangat menyalahkan dirinya.
"Jake, semua yang terjadi bukan salah lo," tutur Jay sendu. "Gue juga sama merasa bersalahnya kayak lo, gue marah sama diri gue sendiri, gue marah sama pelaku dari semua yang terjadi, tapi lo gak boleh kayak gini..."
"Gue gak peduli sama diri gue sendiri, harapan gue sekarang adalah kalian baik-baik aja. Gue gak sanggup kehilangan keluarga lagi."
Harapan Jay sama... dia juga ingin para sahabatnya baik-baik saja. Ah tidak, keluarganya.
Hari kesebelas telah tiba. Hari ini adalah hari pemakaman Heeseung. Pemakaman Heeseung hari ini diiringi tangisan histeris sang ibu karena belum siap kehilangan anak semata wayangnya.
Jay, Ni-Ki, dan Jake berdiri tepat di belakang orang tua Heeseung, menyaksikan bagaimana ibu dari Heeseung menunduk sambil mengusap foto sang anak dengan lembut.
Jay dan Jake berusaha untuk tetap tegar di hadapan semua orang, berbeda dengan Ni-Ki yang terus menatap ibu Heeseung dengan perasaan yang tidak dapat dideskripsikan.
Iri rasanya memiliki ibu yang perhatian kepada anaknya. Ni-Ki ingin merasakan kasih sayang seorang ibu yang sesungguhnya, bukan kasih sayang seperti menjaga barang berharga.
"Ma, ayo pulang," ajak ayah Heeseung penuh kelembutan.
Ni-Ki menatapnya. Melihat ayah Heeseung, Ni-Ki jadi teringat ayahnya yang sudah tiada karena kecelakaan beruntun satu tahun yang lalu. Hal itu menjadi salah satu penyebab mengapa Ni-Ki memilih tinggal dikosan daripada di rumah, Ni-Ki selalu teringat ayahnya.
Jay menyadari tatapan Ni-Ki yang sendu. Dia rangkul sang adik termuda lalu mengusap bahunya untuk menguatkan.
Tersisa mereka bertiga disana. Mereka diam tak bersuara. Jay menghembuskan nafas menyadari atmosfer mulai berubah, berlama-lama disini hanya menambah rasa bersalah.
"Ayo pu-"
"Nathan, Sena, dan Kak Hazen meninggal. Ganta koma. Cuma kita bertiga yang baik-baik aja sekarang, gue benci situasi kayak gini."
"Jake, berhenti salahin diri lo sendiri."
Jake tertawa getir menghadap Jay. "Gue mimisan dua kali, berarti habis ini gue kan yang mati?"
"Gak akan ada yang mati," sanggah Jay. "Gue bakal cari 'orang pintar'. Lo dan Ricky gak perlu khawatir."
"Ricky memang gak perlu khawatir," kata Jake terkesan sinis. "Dia yang ketemu hantu itu pertama kali, tapi dia masih hidup sampai sekarang. Berarti korban selanjutnya antara gue, lo, atau Ganta."
"Lo nuduh gue?" Tanya Ni-Ki to the point.
"Gue gak bermaksud menuduh, tapi lo paling aman di antara yang lain. Lo tau sesuatu? Atau lo kerja sama bareng pelaku supaya selamat?"
"JAKE!"
"Terserah lo mau bela dia atau engga, Jayden. Tapi inget kata Sena, lo boleh percaya Ricky, tapi jangan terlalu jauh atau kita semua bakal mati, tanpa sisa "
"Gue gak ada hubungannya sama masalah ini! Gue gak tau apapun!" Bantah Ni-Ki tidak terima dituduh.
Jake maju selangkah menghadap Ni-Ki. "Lo mau tau apa yang Kak Hazen bilang ke gue di rumah sakit kemarin?"
"Kak Hazen bilang lo adalah sumber masalahnya. Lo, Ricky!!!"
"Jake, tenangin diri lo!"
"Lo harus percaya sama gue, dia penyebab semuanya terjadi! Ricky sumber masalahnya!"
"Jangan asal nuduh tanpa bukti, Jake Emmanuel!"
"LO JUGA CURIGA KALAU RICKY PELAKUNYA, GAK USAH NGELAK KARENA GUE TAU!"
"JAGA OMONGAN LO, INGET KITA ADA DIMANA!"
Jake mendorong Jay menjauh darinya, menunjuk teman seumurannya dengan murka. "Inget perkataan gue, jangan percaya apapun yang keluar dari mulutnya. Kalau Ricky bertahan sampai akhir, lo bakal menyesal karena gak percaya omongan gue."
"Maksud lo apa? Lo mau adu domba gue dan Kak Jayden?" Tanya Ni-Ki semakin tidak terima.
"Lo cuma emosi, Jake. Tenangin pikiran lo..."
Jake tidak mendengar, dia memutuskan untuk pergi dari sana sendirian.
Namun saat melewati Ni-Ki, Jake berbisik dan membuat Ni-Ki mematung di tempat.
"Lo gak peka, Ricky. Kenapa lo gak sadar, heh?"