2. Tiket Liburan

390 54 10
                                    

KARA tahu bahwa apa pun yang dilakukannya selalu saja tidak pernah benar semenjak menyandang status disabilitas. Ia juga mengerti bagaimana kecemasan Mbok Jum yang setiap kali sekadar ingin memerhatikan kesehatannya.

Namun, hari ini Kara sudah membentak wanita sepuh itu. Kara melempar cawan berisi obat-obatannya hingga pecah di lantai. Beberapa serpih pecahannya sempat melukai kaki Mbok Jum.

Semua gara-gara Kara. Kara yang muak dengan ketidakberdayaannya, tetapi orang lain yang terkena imbas kemarahannya. Kara yang lelah menjadi beban serta pandangan iba orang-orang di sekitarnya. Kara yang ingin berhenti dari hidupnya jika dengan begitu akan menghentikan pula kebencian kakaknya sendiri. Kara yang nyaris berputus asa dari rahmat Tuhan, hingga ia pernah mengira pertemuan bilah logam cutter dengan pembuluh nadi tangannya bisa menjadi tiket pengantar untuk menyusul kedua orang tuanya ke alam baka.

Tidak! Kara telah berjanji tidak akan berpikiran sesempit itu lagi. Tuhannya melaknat perbuatan demikian. Jangankan bertemu ayah dan ibunya, alih-alih waktu disambangi Malaikat Izrail oleh sebab jalan kematian berlabel haram serta dibanderol seharga dosa besar itu akan menyeretnya tanpa ampun ke neraka jahanam.

Pun, setidaknya demi Mbok Jum yang telah Kara anggap seperti neneknya sendiri. Kara hanya tidak mau membuat wanita penyabar itu bersedih hati lagi.

Kara menuju ke kamarnya usai makan malam. Namun, gerakannya yang hendak menarik hendel pintu mendadak terhenti ketika pendengarannya tanpa sengaja menangkap samar-samar sebuah perbincangan di ruang tamu. Dari balik celah antara foyer dengan ruang tamu, Kara masih bisa melihat Bagas menduduki sofa yang berhadap-hadapan dengan seorang pria paruh baya. Bukankah itu Pak Imron, sopir pribadi kakaknya?

"Sebelumnya saya minta maaf, karena keputusan ini saya sampaikan secara mendadak." Pak Imron berujar sambil sedikit membungkukkan bahunya.

"Tidak apa-apa, saya bisa mengerti keadaan Pak Imron. Saya tidak akan menghalangi Pak Imron jika ingin resign. Memang ada baiknya di usia Pak Imron sekarang ini digunakan untuk lebih banyak menikmati waktu bersama keluarga."

Bagas tahu Pak Imron sudah tidak muda lagi untuk berkerja sebagai sopir. Rencana mencari sopir baru sempat terpikirkan oleh Bagas belakangan ini. Namun, Bagas masih sulit memercayakan orang lain layaknya Pak Imron yang sudah mengabdi lama untuk keluarganya. Sedangkan kini tibalah Pak Imron sendiri yang menyampaikan pengundurannya secara langsung. Sebagai atasan, Bagas juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Terima kasih atas kebaikan Pak Bagas selama ini. Dan untuk soal pengganti saya, sebenarnya saya sudah ada orangnya. Itu pun kalau Pak Bagas tidak keberatan."

"Oh, itu bagus. Jadi asisten saya nanti tidak perlu repot mencari orang lain lagi."

"Pak Bagas tidak perlu khawatir. Dia keponakan saya sendiri. Orangnya masih muda dan saya yakin dia tidak akan mengecewakan Pak Bagas. Dulu dia pernah bekerja juga sebagai sopir kantor di perusahaan garmen. Tapi karena perusahaan itu mengalami gulung tikar, seluruh karyawanya pun harus kehilangan pekerjaan, tak terkecuali keponakan saya."

"Baiklah, besok pagi suruh saja keponakan Pak Imron itu langsung datang ke rumah."

"Jadi itu artinya Pak Bagas menerima keponakan saya bekerja di sini?"

"Tentu, saya percaya dengan orang pilihan Pak Imron. Tapi saya tetap akan melihat apakah keponakan Pak Imron itu dapat menggantikan posisi Pak Imron dengan baik atau tidak."

"Iya, Pak Bagas. Saya akan sampaikan kepada keponakan saya. Sekali lagi terima kasih atas kesempatan yang Pak Bagas berikan."

Cukup lega Pak Imron begitu mendengar persetujuan atasannya. Tadinya pria berkumis dengan perawakan kurus itu sempat merasa berat untuk meninggalkan Keluarga Wardaya yang sudah selama lebih dari tiga puluh tahun sangat memercayainya sebagai sopir pribadi. Namun, apalah daya tubuh yang semakin dimakan osteoporosis itu sudah terlampau sering kehilangan fokus saat bekerja.

SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang