Dua Puluh Dua

1.1K 77 7
                                    

"Apa perlu kita ke Rumah Sakit?"

"Nggak perlu, Pak. Saya cuma butuh istirahat."

"Yasudah, saya nggak akan menahan kamu lebih lama. Tapi soal pembicaraan kita tadi, kamu nggak keberatan kan kita break dulu sementara?"

"Saya ikut Pak Agil mau nya gimana."

"Oke. Sebulan terlalu lama. Dua Minggu saja ya?"

"Terserah Pak Agil. Yasudah ya Pak. Saya masuk dulu."

"Sebentar." Agil menahannya, mencondongkan tubuh dan meraihnya dalam pelukan. "I miss you already, Evelyn."

Eve membalas dengan anggukan kepala singkat. Sungguh, dia butuh kasurnya sekarang.

"Take care. Jangan lupa makan dan minum obat."

***

"So... lo setuju aja gitu dia minta break?"

Eve yang sudah tenggelam dalam selimut mengangguk pada Sania. Wanita itu pulang lebih awal dari waktu biasanya namun Eve tak punya niat sekadar mencari tahu kenapa Sania pulang lebih awal.

"Kenapa?" Tanya Sania lagi. "Kenapa lo penurut banget?"

"Kepala gue sakit San, gue nggak punya tenaga buat menolaknya."

Eve melihat Sania mendekat lalu duduk di lantai dekat kepala tempat tidurnya. Sekarang mereka sudah berhadapan namun posisinya berbeda, Eve berbaring dan Sania duduk. Kepala mereka saja yang sejajar.

"Sekarang jujur sama gue. Lo beneran cinta sama Pak Agil?"

Dari nada suaranya, Eve tahu jelas Sania sedang serius. Wanita ini ingin tahu yang sebenarnya. Kalau sudah seperti ini maka Eve tidak bisa untuk berbohong. Mereka lebih sering jujur satu sama lain jika salah satu sudah bertanya.

"Jawab gue Evelyn. Lo cinta Pak Agil?"

"Gue--" Tercekat, Eve rasa matanya mulai memanas.

"Waktu lo cerita soal Pak Agil pertama kali ke gue, gue rasa ada yang salah sama lo. Lo nggak terlihat seperti wanita kasmaran, saat menyebut namanya pun gue lihatnya kayak lo sebut nama teman kerja lo, Rendy atau siapalah itu. Nggak ada sikap lo yang malu-malu. Lo masih sama seperti Evelyn yang biasanya. Gue nggak masalah soal itu.

"Tapi sekarang... lo kenapa jadi gini Evelyn? Lo bicara seolah semua baik-baik aja, tapi lihat ini, lo tertekan kayak gini."

Air mata itu jatuh. "San..."

"Ssttt, nggak pa-pa." Sania mendekat dan membelai rambutnya. "Kita temenan okay? Gue ada disini. Lo bisa bebas cerita dan nangis sepuas lo."

"Gue... nggak tahu harus gimana San..."

Sania membiarkan Eve menumpahkan keluh kesah nya.

"Kenapa dari awal gue terima Pak Agil, gue ngerasa berdosa banget."

"Gue... udah nipu dia. Gue nggak ada bedanya sama Melanie. Gue benar-benar wanita penipu."

Terisak, ingatan Eve malah membawanya pada Gerald.

Pria itu pernah mengatainya dengan kalimat yang sama.

Wanita penipu.

Wanita peni--

Satu kesadaran yang tak disangkanya, mulai menghantamnya sedemikian rupa.

Membenamkan wajahnya pada bantal, Eve meredam tangisannya yang makin menjadi.

***

Sania sudah kembali ke kamarnya. Ada telepon dari Sena dan Eve tidak setega itu menahannya lebih lama karena Sania pasti ingin bicara dengan Sena.

EAGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang