Tiga Puluh Enam

1.2K 81 9
                                    

Part ini berisi 3000 lebih kata.

Banyak kan? Semoga gak bosan ya :)

Happy reading

***

Hal pertama yang Eve sadari saat membuka mata adalah ruangan tempatnya berbaring terlihat berbeda dari yang biasa dia lihat sebelum tidur. Bukannya berbentuk kotak-kotak, desain plafon ruangan ini berbentuk gypsum yang terlihat elegan dan mewah. Mengarahkan pandangan ke samping mata Eve justru menemukan gorden yang jatuh menjuntai terlihat sama elegan dan mewahnya.

Ini bukan kamar kosnya.

Sadar akan hal itu tubuhnya segera beranjak bangun. Hanya untuk kembali terpaku mendapati sosok yang dia rindukan tengah berdiri dekat pintu yang terbuka dengan sepasang mata tertuju lurus padanya.

Tubuh pria itu langsung tegak ketika tatapan mereka bertemu. Namun belum sempat Eve bereaksi lebih Ibu Mefa yang ternyata duduk di kursi samping tempat tidurnya lebih dulu bangkit dan bertanya dengan nada cemas. "Evelyn? Kamu baik-baik saja Nak?"

Wanita itu mengamatinya yang masih duduk dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan sorot khawatir. Eve hanya mengangguk kecil, menerima segelas teh hangat yang disodorkan Ibu Mefa tanpa sungkan karena dia memang merasa haus.

"Beneran kamu baik-baik saja?" ucap Ibu Mefa kembali meletakan gelas ke meja lalu mendekat dan duduk di sampingnya. "Sebentar ya, Om lagi minta Dokter kesini biar langsung meriksa kamu."

Mendengar itu kepala Eve bergerak menggeleng. "Nggak perlu Tante. Aku baik-baik saja sekarang."

"Mama," Panggil Pak Bram dari arah luar pintu, melangkah masuk dengan ponsel di tangan. "Eh, sudah bangun kamu Evelyn? Ada yang sakit?" tanya pria tua itu sembari mendekat.

"Dokter Arnold sudah datang Pa?"

"Dokter Arnold katanya lagi tugas luar Ma. Di pulau apa tadi. Nggak bisalah dia. Sebentar Papa coba minta dokternya Bang Pedro saja."

"Eum, Pak Bram," panggil Eve pelan.

"Ya?"

"Nggak usah minta Dokter kesini, Pak. Saya baik-baik aja sekarang."

Pak Bram tidak langsung menjawab tetapi mengarahkan matanya pada sang istri. Seperti memintai pendapat. "Kamu yakin kamu baik-baik saja Evelyn?" tanya Ibu Mefa untuk kesekian kali masih dengan nada yang sama. Cemas. Entah kenapa Eve jadi merindukan Ibunya di kampung. Dia menganggukan kepalanya tapi matanya tiba-tiba berair.

"Mama mau bicara sama Evelyn sebentar. Kalian keluar dulu." pinta Ibu Mefa pada anak dan suaminya. Setelah hanya tersisa mereka berdua wanita itu lalu membawa tubuh Eve ke pelukannya. "Jangan bersedih Evelyn. Kamu nggak akan menikah dengan siapapun selama kamu memang nggak mau. Nggak ada yang bisa memaksa kamu untuk satu hal itu."

"Aku cuma kangen Ibu aku, Tante." ungkap Eve dengan air mata di pipi. "Aku tadinya memang syok. Tapi sekarang udah gak lagi. Pikiranku udah jernih sekarang. Sama seperti kata Tante, aku akan menikah selama aku mau, gak ada yang bisa memaksa aku."

"Maafkan kelakuan anak Tante ya?" Ibu Mefa mengusap punggungnya. "Tapi nanti setelah kamu benar-benar siap memaafkannya. Melihat kamu pingsan tadi Agil langsung mendekam di kamarnya. Entah apa yang dipikirkan anak itu, setiap ada masalah dia pasti begitu. Semoga saja dia benar menyesali perbuatannya."

Eve diam tak menanggapi. Setelah dia kesetanan berlari menuju toilet untuk memuntahkan isi perut, tubuhnya jatuh terduduk lemas di lantai begitu saja karena kehilangan tenaga. Hingga Ibu Mefa yang tahu-tahu menyusulnya dengan panik mulai memanggil Agil. Kesadarannya masih tersisa ketika tubuhnya diangkat Agil sebelum semuanya mendadak menggelap.

EAGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang