Lima Belas

1.4K 96 2
                                    

Eve tidak tahu ini gerakan reflek semata atau karena sadar ada yang memperhatikan mereka karena tiba-tiba saja dia sudah melarikan matanya pada Gerald yang berdiri agak jauh dari situ. Pria itu sedang bersedekap dan terpaku diam seolah tak berniat bergabung bersama keluarga yang lain. Kening Eve lantas mengkerut, merasa ada yang janggal. Ruangan ini bukan tempat Ibu Mefa meletakkan bunga-bunga nya jadi kenapa pula pria itu tidak datang dan duduk bersama para sepupunya untuk sekadar berbincang? Kenapa malah mojok disana sendirian?

Eve masih bertanya-tanya hingga benaknya memutar kembali percakapan antara Agil dan Oma Bertha.

"Sepertinya kepulangan anak itu membawa pengaruh buruk untuk kamu."

"Aku memang salah bicara disaat Oma sedang bicara. Tapi tolong jangan bawa-bawa Mas Gerald."

Pengaruh buruk?

Gerald?

Apa yang terjadi sebenar--

Eve tersentak seperti seseorang baru saja melempari wajahnya dengan sepatu ketika ada yang menyentuh tangannya dan berkata. "Kami serius Oma."

Sadar akan situasi yang sedang terjadi umpatan beruntun pun meluncur begitu saja dalam hati Eve.

Sial!

Gila.Gila.Gila.

Bisa-bisanya dia memikirkan hal lain disaat seperti ini. Bahkan sampai lupa pada pertanyaan Oma Bertha.

Mata Eve turun pada tangan Agil yang melingkupi tangannya lalu mulai menatap wajah pria itu dari samping. Look at him Evelyn. Dia pria yang kamu bilang serius mau sama kamu. Bahkan dia sudah menyatakan langsung dihadapan Oma dan keluarga nya yang lain. Apa yang kamu lakukan barusan?

Mendesah pelan Eve merutuki dirinya sendiri. Ini mungkin bukan efek melamun paling parah yang pernah dialaminya, tapi dia sadar dia sudah kelewatan. Tidak seharusnya dia begini. Mendapati Gerald bersikap seperti itu disaat dia sendiri juga sedang berada dalam kesulitan besar--ditanyai soal keseriusannya pada Agil tentu saja merupakan kesulitan besar untuknya--sudah seharusnya dia abai. Gerald dan segala sikap pria itu bukan termasuk urusannya.

"Yang Oma tanyai keseriusannya itu Evelyn, bukan kamu." Ucap Oma Bertha lagi.

Agil masih tetap kekeuh. "Sama aja Oma. Aku sama Evelyn itu satu paket. Tujuan kami dalam hubungan ini sama."

"Benar begitu Evelyn?"

"Oma, aku kan udah--"

"Evelyn?"

Eve bisa merasakan tangannya diremas pelan dan dengan itu saja dia bisa merasakan kecemasan pria disampingnya. Ternyata dari awal Agil sadar bahwa dia belum sampai pada tahap menjadikan pria itu pusat dunianya. Eve memang menyayanginya namun belum cinta dan Agil pasti menyadari itu.

Untuk ukuran seorang pria, Agil benar-benar sangat peka dan karena itu pula Eve merasa bersalah. Tidak ada hal lain yang ingin dilakukannya saat ini selain memeluk pria ini dan mengatakan maaf karena belum mampu. Namun Eve memilih untuk mengambil risiko dengan tanpa ragu balas meremas tangan Agil dan tersenyum pada pria itu.

"Saya ikut kata Pak Agil. Kami satu paket. Tujuan kami dalam hubungan ini sama." Jawabnya pada Oma Bertha. Mungkin ini tindakan nekat dalam hidupnya tapi Eve tidak rugi jika harus hidup dengan merasakan dicintai jika memang mencintai saja sesulit ini.

Oma Bertha mangut-mangut setelah mendengarnya. "Baguslah. Setidaknya sekarang saya punya alasan menghukum kamu jika suatu saat kamu berani menyakiti cucu saya."

Setelah berkata demikian wanita itu bangkit berdiri dan pergi tanpa peduli bahwa lawan bicara nya baru saja tercekat dengan napas tertahan. Namun tidak separah ketika pelipis Eve dikecup pelan disusul bisikan lega dari arah sampingnya.

"Thank you."

Eve baru akan menoleh pada Agil ketika matanya lagi-lagi melihat ke arah Gerald. Entah kebetulan semata atau bukan karena ternyata pria itu juga melihat ke arah nya. Tapi kemudian begitu saja berbalik pergi.

***

"Kamu duduk bentar disana nggak apa-apa kan? Saya nggak lama kok."

"Nggak apa-apa Pak. Saya bisa kok ke belakang bantuin Tante beres-beres."

Mereka baru selesai makan malam dan Eve diminta menunggu bersama para keluarga yang lain, yang sedang bersantai di ruang keluarga karena Agil ingin bicara dengan Tatiana, kakak Lolita yang tadi datang belakangan.

"Nggak, kamu duduk aja. Dari tadi sampai udah bantu-bantu Mama. Mama tadi juga udah kasih ultimatum sama saya katanya kamu dilarang ke dapur. Tuh ada Lolita, anaknya asyik. Kamu pasti nyambung ngobrol sama dia." Ucap Agil mengedikan dagunya pada Lolita yang lagi main ponsel.

Eve hanya mengangguk mengiyakan.

"Sebenarnya saya mau kamu ikut ngobrol sama Tatiana, tapi saya harus kasih warning dulu sama dia sebelum ketemu kamu."

"Memangnya kenapa?"

"Tatiana tong sampah saya sejak Mas Gerald di Aussie. Saya nggak mau kamu sampai ilfeel gara-gara dengerin dia. Tadi aja Loli sampai tahu dan menggoda saya."

Eve mengerutkan keningnya tanda tidak mengerti namun Agil hanya mengusap bahu wanita itu dan lanjut berkata. "Jangan kemana-mana ya. Duduk situ aja. Saya takut kamu hilang."

Kerutan di kening Eve langsung menghilang. "Emang saya jin, pake hilang muncul segala?"

"Bukan. Tapi dapetin kamu aja susah loh, apalagi nyari nya."

"Hah?"

Agil langsung meringis. "Nggak mempan ya?"

Eve sudah tertawa geli. "Pak Agil lagi gombalin saya ya? Modus banget sih."

"Bukan modus tapi mocin."

"Mocin?"

"Modus itu kan modal dusta, kalau saya mocin, modal cinta." Agil menaik-naikan alisnya menggoda Eve dan wanita itu membalasnya dengan tawa sambil mendorongnya menjauh.

"Sana, ngobrol sama sepupu Bapak."

Agil terkekeh sambil menjauh dan Eve memutuskan mengikuti saran pria itu dengan menuju Lolita. Namun, baru mau melangkah Eve mendapati Oma Bertha lebih dulu menghampiri cucunya itu membuat Eve jadi memaku kaki di tempat. Tiba-tiba saja niatnya untuk bergabung dengan Lolita pudar begitu saja. Eve menggigit bibir bawahnya pelan. Jadi harus kemana dia sekarang? Ke dapur juga dilarang, padahal dia paling suka ngobrol sama Ibu Mefa.

Akhirnya Eve memutuskan melangkah menuju pintu di sampingnya yang terbuka. Sepertinya ada kolam renang diluar, mungkin dia bisa sedikit mendapatkan udara segar disana. Berjalan sambil merangkul lengannya, Eve memperhatikan sekeliling kolam lalu terkejut mendapati Gerald ada disana. Pria itu sedang duduk di kursi santai sambil bermain ponsel. Seperti tersadar ada yang datang, Gerald ikut menoleh ke arahnya. Sampai sepersekian detik keduanya saling tatap, Eve memutuskan untuk menyapa duluan.

"Hai."

Canggung. Itu yang telinga Eve tangkap saat mendengar nada suara nya sendiri. Tanpa respon berarti Gerald justru kembali mengarahkan mata pada ponsel membuat Eve merasa bahwa dirinya sedang dicueki. Bagaimana tidak? Barusan dia sedang menyapa loh tapi pria ini nggak membalasnya sama sekali. Tapi meski begitu Eve juga tidak mau berlaku sama seperti Gerald karena ternyata ia tidak bisa abai begitu saja seperti pemikirannya di dalam tadi.

Gerald dan sikap pria itu memang bukan urusannya namun Eve juga tidak bisa menampik ada secuil rasa penasaran yang hinggap pada dirinya ketika menemukan fakta bahwa pria itu terlihat memisahkan diri dari keluarga nya yang lain. Meskipun hanya insting tapi entah kenapa Eve yakin akan hal itu. Apalagi saat mendapati pria itu tidak bicara sedikit pun saat makan bersama tadi hingga Tatiana datang dan mengajak nya bicara. Ya, Eve diam-diam mengamatinya. Hal yang tidak pernah dilakukannya jika itu bukan keluarganya sendiri. Namun Eve juga tidak cukup peduli untuk mencari tahu alasan kenapa dia sampai begitu.

Menelan ludah sekali, Eve menurunkan egonya sedikit dengan melangkah pelan menuju tempat Gerald.

"Pak Gerald lagi apa?" Tanyanya saat sudah berdiri dekat pria itu.

***

EAGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang