"Iya, Bu. Sebentar Eve transfer ke rekening Bapak ya."
"Kamu nggak apa-apa kan Nak? Maafkan Ibu. Kata wali kelasnya, jatuh tempo pembayaran SPP dua hari lalu. Tapi Adam ngeyel nggak mau bilang sama Ibu. Anak itu... astaga, selalu saja bikin susah."
"Eve nggak pa-pa Bu. Jangan minta maaf." sanggah Eve cepat. "Sudah tugas Eve sebagai anak untuk menafkahi. Adam mungkin begitu karena nggak mau menyusahkan Ibu, Bapak dan aku. Apalagi sekarang Bapak sakit. Adam mungkin berpikir dua kali mau bilang sama kita Bu."
"Sok dewasa sekali adikmu itu." gerutu Ibu di seberang.
Eve mengerucutkan bibirnya tidak setuju. "Eve yang dengar bapak jatoh dari motor aja udah nangis kejer. Apalagi Ibu dan Adam yang disana."
"Bapak sudah nggak apa-apa Sayang."
"Tapi sampai masuk Rumah Sakit." Eve menyusut bening yang tiba-tiba meluncur. "Eve nggak masalah jauh dari kalian. Tapi please, jangan kenapa-napa disana. Adam masih SMA, masih kecil Bu, kalau kalian kenapa-napa siapa yang bakal ngurus. Eve lebih senang kalau Bapak berhenti kerja, Eve bisa kok, nanggung biaya kita berempat. Eve bisa kerja lebih keras lagi, trus uangnya ditabung buat beli rumah disini. Bapak nggak perlu kerja juga, Eve aja yang kerja. Eve bakal bawa kalian kesini biar kita nggak perlu jauh-jauhan lagi, biar Eve juga bisa tahu keadaan kalian gimana."
Eve ingin lanjut mengeluh namun teredam ketika mendengar suara tawa Ibunya. Juga suara tawa laki-laki, yang Eve tebak ayahnya. Ibu memang selalu menekan speaker ketika berbicara di telepon. Siapa saja yang ditelepon atau menelepon, pasti di speaker sama Ibu. Jadi Eve tidak terkejut mendengar suara tawa ayahnya di seberang. Semua obrolan mereka pasti didengar oleh ayahnya dari tadi, yang Eve tebak berada disitu sejak Ibu menelepon.
"Kamu dengar kan Nak?" tanya Ibu masih dengan sisa tawa. "Bapakmu sampai tertawa dengar nasihat kamu."
Eve menjauhkan handphone dan menatap sebal benda itu. Lantas menempelkan kembali ke telinga. "Ibu tertawa? Eve lagi nangis loh ini."
"Iya, iya, kami dengar kok."
Bahkan ia yakin Ibunya sedang menahan tawa. "Ibu tega."
"Bapak mu tuh, tertawa paling besar." Eve mendengar suara tawa Ibu nya lagi. Etdah. "Kamu yang sehat saja disana. Selama kamu baik-baik saja, Ibu, Bapak dan Adam akan baik-baik saja. Jangan menangis Nak."
Meskipun kesal, air mata Eve kembali mengalir. Yang dibilang Dilan itu benar. Rindu itu berat. Resiko tinggal jauh dari orang tua ya begini. Rindu tapi tak bisa memeluk. "Bilang sama Bapak, hati-hati kalau bawa motor. Eve lebih suka kalau Bapak berhenti kerja Bu."
"Bilang langsung pada Bapakmu. Ibu nggak mempan ngomong sama dia."
Eve mengambil tisu di atas meja, menghapus air matanya. "Bapak lagi sakit Bu, Eve nggak tega mau ngomel. Lagian Ibu aja nggak mempan. Apalagi aku."
"Nah, tahu kan." sambut Ibu. "Yasudah, kamu katanya mau makan malam sama Nak Agil. Udah siap kan?"
"Sudah dari tadi, cuman bedak nya luntur karena nangis."
"Cengeng sekali anak Ibu."
"Eve anak Bapak Bu."
"Ibu sedang berdoa semoga Nak Agil nggak menyesal memilih kamu yang cengeng dan anak Bapak."
"Pak Agil nggak masalah Bu. Eve melamun di kantor aja dia nggak negur."
"Makanya kamu baik-baikin dia. Zaman sekarang susah loh cari laki-laki seperti itu."
"Memang Bapak nggak kayak Pak Agil?"
"Kamu nggak dengar Ibu bilang apa? Zaman sekarang. Kalau Zaman dulu ya ada laki-laki begitu. Tuh, Bapakmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
EAGER
Acak#14 - chicklit 12/09/2022 EAGER : INGIN SEKALI; BERHASRAT; Evelyn bukan mati rasa. Dia tahu apa arti tertarik pada lawan jenis. Tapi selama hidupnya, Eve belum pernah merasakan efek "kupu-kupu berterbangan dalam perut" seperti kata kebanyakan orang...