Tiga Belas

1.4K 112 13
                                    


Dua menit.

Waktu yang diam-diam dihitung Eve dari arlojinya untuk mengukur berapa lama durasi Gerald dari ruang tengah ke dapur. Setelah tadi bersama Ibu Mefa menyiapkan makanan--yang katanya dipesan katering karena tidak mau repot, Eve masih berdiam diri di dapur sambil menyiapkan mental sebelum menemui keluarga besar yang kata Ibu Mefa sudah datang.

Namun belum juga bermenit sejak ditinggal Ibu Mefa, Eve mendapati Gerald mulai bertingkah aneh dengan mengunjungi dapur dua menit sekali. Bahkan ini sudah kali ke empat pria itu ke tempat ini dalam kurun waktu tak mencapai sepuluh menit. Entah apa yang akan dilakukan Gerald lagi namun sepertinya niat Eve untuk tetap mengunci mulut harus batal. Melihat Gerald membuka kulkas dan mengambil botol air yang isinya hampir habis, Eve tidak tahan untuk berkomentar.

"Really?"

Gerakan Gerald membuka tutup terhenti begitu saja. "That's my part Evelyn." Sahutnya sambil meletakan botol ke baki di atas meja bergabung dengan gelas bekas minumnya. Sejurus kemudian tatapannya sudah terarah pada Eve dan bertanya. "Really, Evelyn?

Eve mengerutkan alis bingung, menunggu Gerald melanjutkan dengan tatapan bertanya.

"Apa saya harus kenyang air dulu baru kamu mau bicara?"

Dan pertanyaan bernada tak habis pikir itu sukses membuat Eve tersedak ludah sendiri. Ini memang keempat kalinya juga Gerald ke dapur untuk melakukan hal yang sama. Minum air. Berdehem singkat, Eve bertanya dengan nada santai. "Memangnya saya harus bicara apa?" Padahal mati-matian sudut bibirnya Eve tahan agar tidak tertarik ke atas saking gelinya dengan pertanyaan Gerald barusan.

"Say hay or what?" Jawab Gerald.

"Penting?"

"Kamu tidak tahu seberapa ingin saya mendengar kamu bicara."

Crap. Eve mengumpat dalam hatinya. Bisakah Gerald berhenti mengucapkan kalimat yang berpotensi membuat jantungnya berhenti berdetak?

"Kenapa nggak Pak Gerald yang mulai duluan?" Tanya Eve mencoba untuk bersikap biasa saja. Mengangkat jari telunjuk dan jari tengah menyerupai tanda kutip wanita itu melanjutkan. "Say hay or what." Katanya sambil menaik-turunkan jari tersebut.

"Kamu sudah mau bicara sama saya?" Gerald memastikan.

"Yang saya lakukan barusan adalah bicara kalau Pak Gerald lupa."

"I mean..." Kalimat itu mengambang dan sebentar saja, tanpa menyelesaikannya, Gerald melangkah memutari table besar di tengah ruangan.

Eve yang menduga pria itu ingin menghampirinya spontan bertanya. "Mau ngapain?"

"We need to talk."

"Yaudah, disitu aja."

"Terlalu jauh."

"No. Disitu aja, jangan mendekat."

Gerald berhenti beberapa langkah didepannya. Tapi Eve justru mengambil langkah mundur hingga pinggulnya bersentuhan dengan meja kabinet. Gerald mendesah lelah setelah paham. Dua kali sudah dia mendapati Eve seperti enggan dengannya, mungkin sekarang wanita itu juga enggan berdekatan dengannya.

"Saya akui saya salah." Ujar Gerald untuk kesekian kali. "Tapi, apa sampai harus seperti ini kamu memperlakukan saya? Seolah-olah saya ini virus yang harus kamu hindari."

Dan respon diam dengan gestur tubuh kaku yang diperlihatkan Eve membuat Gerald merasa segala perkataannya menjadi percuma. Menarik napas dalam pria itu memutuskan untuk menyudahinya dengan pergi saja. Padahal baru saja dia berpikir akan diberi kesempatan namun ternyata Evelyn masih sama seperti sebelumnya. Sulit dijangkau.

Baru di langkah kelima, telinga Gerald mendengar suara cicitan yang memintanya untuk tidak pergi. Menghentikan langkah dan berbalik untuk memastikan, Gerald mendapati Eve sedang menatapnya dengan mata membulat dan mulut terbuka. Menyadari ekspresi wanita itu, Gerald menaikkan kedua sudut bibirnya tipis. Tipis sekali, hingga Eve mungkin tidak melihatnya karena posisi mereka yang tidak bisa di bilang dekat. Dapur di rumah ini memang nggak kira-kira luasnya.

"Maksud saya Pak Gerald pergi aja kalau memang mau pergi." Eve buru-buru meralat yang berakhir terlihat salah tingkah. What the hell?! Dia barusan meminta Gerald jangan pergi? Oh to the em to the ji. Oh em ji! Kenapa dia jadi murahan begini?

Gerald mendecakan lidahnya melihat sikap plinplan Eve. "Saya hanya minta kamu jangan menghindari saya Evelyn. Apa itu sulit?"

Eve pada akhirnya menundukan kepala seraya meringis. "Bukan gitu." Desisnya serba salah.

Gerald menghela napas. "Then, come here."

"Hah?" Eve menegakan kepala.

"Saya tidak jadi pergi seperti permintaan kamu. Jadi kenapa kamu masih diam disitu?"

"Kenapa nggak Pak Gerald aja yang kesini?" Ewh. Eve baru sadar, pertanyaannya ini terdengar mengundang banget. Malam ini dia benar-benar menjijikkan!

Dan napasnya tertahan selama beberapa detik ketika Gerald menurutinya. Astaga. Ini cuma seorang pria yang bahkan belum dikenal baik tapi belum apa-apa perasaan Eve sudah seperti nano-nano. Menghembuskan napas perlahan-lahan Eve mensugesti dirinya untuk bersikap biasa saja.

"Ini perasaan saya saja atau memang benar kamu sedang gugup?" Tanya Gerald ketika tiba didepannya.

"Nggak, bukan." Eve geleng-geleng kepala. Mengangkat wajahnya dan--

Darn!

Ini yang dia khawatirkan sedari tadi, melihat wajah Gerald dari jarak dekat. Berdekatan dengan pria itu di kantor minggu lalu tidak berakhir bagus baginya, Eve tidak bisa menjamin bahwa kali ini akan berakhir dengan baik. Gerald, yah... bisa dikategorikan sebagai laki-laki hot dan itu tanpa sadar sudah Eve akui sejak pertemuan mereka di kantor. Namun entah kenapa malam ini melihat wajah pria itu tanpa kacamata, Eve rasa label hot yang melekat pada diri Gerald terasa kurang cukup. Apalagi saat menemukan kedua bola matanya yang berwarna hitam pekat, Gerald tidak hanya hot tapi juga ganteng.

"Sa-- Saya nggak gugup." Elak Eve terbata. Sial. Dia memang gugup!

"So, still hate me?" Gerald bertanya lagi.

Eve yang merasakan kepalanya tiba-tiba pening menggeleng kecil. See? Selalu berakhir buruk baginya jika berdekatan dengan pria ini. "Saya sudah memaafkan Pak Gerald." Jawab Eve dengan nada pelan. Dia memang terluka karena hinaan Gerald tapi dia tidak sampai membenci, dia hanya marah. Dan perasaan marah itu sirna seiring berjalannya waktu. Anggap dia mudah karena ini bahkan belum genap dua minggu sejak kejadian itu, tapi dia hanya mencoba untuk jujur.

Beberapa detik berlalu dan respon Gerald hanya diam, Eve memperhatikan pria itu yang terlihat tidak fokus lalu berpikir bahwa Gerald mungkin tidak mendengarnya. "Saya bilang saya sudah--"

"Why?" Gerald memotongnya. "Saya bahkan belum melakukan apapun. Pemberian saya kemarin juga kamu tolak."

"Waktu itu saya memang lagi kenyang." Eve teringat makan siang yang sengaja Gerald titipkan untuknya. "Lagipula Pak Gerald adalah kakak Pak Agil. Saya nggak mau menjalin hubungan yang kurang baik dengan keluarga kekasih saya. Jadi, saya memaafkan Bapak."

"Its my fault Evelyn."

"Ya?"

"Kenapa kamu meng-atasnama-kan Ragil atas kesalahan saya? Saya yang menyakiti kamu tapi kamu memakluminya karena saya kakak Agil. Sudah saya bilang saya akan menunggu kamu. Tidak perlu terburu-buru kalau memang belum bisa memaafkan saya."

"Evelyn."

Satu seruan membuat segala kalimat penyanggahan yang akan Eve lontarkan tertelan dalam mulut.

"Loh, Mas disini ternyata. Aku cariin di kamar." Ucap Agil sambil menghampiri keduanya.

"Yuk, saya kenalin kamu sama Oma." Lalu begitu saja pria itu menarik lembut tangan Eve untuk mengikutinya.

***

EAGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang