Mulmed : Theo James.
.
.
.
.
."Evelyn!"
Jempol kanan Eve yang menuju fingerprint terhenti di udara. Menoleh pada sumber suara, matanya menemukan Kartika yang berlari menujunya dengan mencantol tali tas di pundak. Napas wanita itu ngos-ngosan saat tiba di depannya.
"Aduh... gue kira udah telat." Keluh Kartika sambil bersandar pada dinding tembok. "Untung gue lihat lo. Kalau telat sama lo kan gue nggak perlu pikiran dimarahin Pak Bos."
Eve mengabaikan perkataan Kartika. Tangannya yang tadi di udara sudah berpindah ke mulut, menghalau kuap akibat rasa kantuk. Melihat itu Kartika jadi bertanya heran. "Lo begadang semalam? Ngapain aja sampai ngantuk gini?"
Kepala Eve menggeleng. "Udah yuk, masuk." Ajaknya pada Kartika. Untung wanita itu tidak bertanya lanjut. Eve merasa percuma untuk menjelaskan karena Kartika tidak mengenal Sania.
Semalam dia tidak bisa tidur awal karena Sania yang mengigau dan muntah. Eve masih harus mengurusnya dan baru terlelap ketika pukul dua pagi. Saat tersadar di pagi hari dia tidak lagi menemukan Sania di kamarnya. Eve yakin Sania sudah melarikan diri ke kamarnya sendiri agar terhindar dari kekepoan Eve atas peristiwa semalam. Lagipula Eve juga bangun terlambat tadi, sehingga tidak punya waktu memberondong Sania dengan pertanyaan sekadar memuaskan rasa ingin tahu.
Setelah melalui mesin absensi, Eve dan Kartika lalu menuju meja masing-masing. Disana sudah ada Bagas, Daniel, Helen juga Rendy. Satu persatu mereka menjawab sapaan keduanya.
"Ada yang mau nitip dibikinin sesuatu? Gue mau ke pantri nih." Tawar Rendy sambil berdiri. Semuanya langsung menyambut baik niat baik Rendy itu. Helen meminta teh, sedangkan lainnya kompak meminta kopi, termasuk Eve.
"Yakin nih kopi Mbak? Biasanya juga teh kalau nggak air putih." Tanya Rendy padanya. Rendy memang memanggilnya Mbak karena umur pria itu yang berada dua tahun dibawah Eve.
"Gue lagi butuh kopi. Ngantuk banget nih gue."
"Oke, Mbak. Tunggu bentar ya."
Eve mengangguk saja.
"Kalau nggak tahu Rendy anak sopir keluarga Pak Bos, gue pasti mikir dia naksir lo. Perhatian banget." Komentar Kartika setelah Rendy menjauh.
Eve berdecak malas. "Ada-ada aja lo."
Faktanya dia memang sudah terbiasa dengan sikap Rendy padanya. Dari semua pria yang bekerja di divisi redaksi--kecuali Agil tentunya--Eve paling dekat dengan Rendy. Sebenarnya bukan karena Rendy anak Pak Mardi, tapi karena keseringan bekerja bersama membuatnya jadi akrab dengan pria itu.
Beda hal dengan Bagas dan Daniel. Eve bukannya tidak ingin akrab dengan Bagas, tapi jabatan pria itu sebagai Wakil Pimpinan Redaksi membuatnya mau tak mau membatasi berdekatan dengan Bagas. Berdekatan dalam artian bisa bebas bercanda. Sedangkan dengan Daniel, mereka seringkali berselisih dalam hal pekerjaan. Misalnya saat Eve yang tidak menyukai cover buatan Daniel ataupun saat Daniel yang tidak memahami tulisan pada back cover yang dibuat Eve.
Membuat Eve kerap kali membentuk kubu dengan Kartika untuk melawan Daniel. Pekerjaan mereka jelas bersinggungan karena Kartika sering mengoreksi kesalahan penulisan pada buku. Sebelas dua belas dengan Rendy yang hampir selalu membahas dan berdiskusi dengan Eve terkait pekerjaannya. Entah itu mencari, memasukan atau mengedit gambar dan tabel yang sesuai untuk ilustrasi. Addvos adalah perusahaan penerbitan buku non fiksi sehingga semuanya tidak terlepas dari gambar dan tabel.
"Makasih ya dek Rendy zeyeng."
Tangan Eve baru mencapai tombol power komputer ketika merasa pinggangnya ditusuk sesuatu. Ternyata ujung pulpen.
"Lo denger nggak?" Tanya Kartika ketika Eve melihatnya. "Rendy dipanggil Adek dan Sayang sama Helen. Centil banget sih."
Eve ikut mengarahkan kepala ke tempat Helen berada. Disana ada Rendy yang berdiri dengan nampan di tangannya. "Biarin aja. Lo juga tahu semua pria disayang sama Helen." sahut Eve cuek.
"Salah. Pria siapa aja yang peduli sama lo pasti disayang sama Helen." Koreksi Kartika.
Eve memutar bola matanya malas. "Udah ah, malas banget bahas dia." Ini jujur. Eve tidak berbohong saat mengatakan malas membahas Helen. Pernah dengar kalimat 'Sebaik-baiknya orang, pasti ada saja yang tidak menyukai?' Itu pula yang dialami Eve dari teman kerjanya Helen.
Padahal di divisi redaksi, dia sebagai Editor dan Helen sebagai Akusisi harusnya bisa bekerja sama dengan baik, karena keduanya berhubungan langsung dengan penulis dan bertanggugjawab terhadap naskah. Namun entah kenapa Helen selalu menganggapnya sebagai saingan. Eve tidak mengerti atas dasar apa Helen menganggapnya begitu. Justru dimata Eve, Helenlah yang suka caper alias cari perhatian. Helen pernah membuat bentuk hati dengan tangannya untuk Agil saat Agil memujinya pintar menyeleksi naskah.
Saat mengetahui bahwa Eve menjalin hubungan dengan Agil, Helen sampai jatuh pingsan karena syok. Berita itu menyebar tidak hanya di divisi redaksi tapi sampai ke divisi lain membuat Helen menjadi bulan-bulanan kantor. Tapi Helen mempunyai caranya sendiri untuk mengatasi masalah itu. Peristiwa Eve dilempar tutup pulpen oleh Direktur Utama--Papanya Agil--seakan hadiah dari surga untuk Helen. Helen mulai menjadikan Eve bahan bulanan kantor menggantikannya.
"Melamun lagi. Nih kopinya Mbak." Rendy yang sudah bediri disampingnya membuat Eve tersadar.
"Oh. Eh. Ren, makasih ya. Jadi repot." Eve menggeser kursinya sedikit.
Rendy lalu meletakkan cangkir di sebelah komputer Eve. "Nggak apa-apa. Pak Imron lagi sakit juga, biar sementara gue aja." Pak Imron itu OB di kantor ini. "Sebentar lunch bareng ya Mbak?" Ajak Rendy.
Eve mengangguk. "Boleh."
"Gue nggak di ajak?" serobot Kartika yang dari tadi mendengarkan.
Rendy langsung cengengesan. "Maksud gue, sama lo juga Mbak." Ralatnya.
"Gue mau tanyain soal Mas Gerald." Kata Rendy pada Eve.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
EAGER
Random#14 - chicklit 12/09/2022 EAGER : INGIN SEKALI; BERHASRAT; Evelyn bukan mati rasa. Dia tahu apa arti tertarik pada lawan jenis. Tapi selama hidupnya, Eve belum pernah merasakan efek "kupu-kupu berterbangan dalam perut" seperti kata kebanyakan orang...