Tujuh

1.8K 146 9
                                    

"Wow. Lo nggak hanya seksi tapi cantik juga."

Evelyn, objek yang menerima pujian itu menolak merespon dan justru terpaku pada sosok di belakang si pria.

"Lagi lihatin apaan sih?" Pria asing yang mulutnya kurang ajar itu ikut berbalik melihat ke belakangnya. Sejurus kemudian dengan gesit bergerak menghalangi pandangan Eve. "Eits. Temen gue tuh."

Tatapan Eve terpaksa beralih pada wajah didepannya. Lalu tanpa basi-basi bertanya. "Bisa kamu kembali ke tempatmu?"

"Hah?" Sahut pria itu bingung. "Bentar. Ini, lo maksudnya gimana? Lo ngusir gue?"

Eve memalingkan wajahnya. "Maaf kalau saya terdengar tidak sopan. Tapi saya sedang tidak ingin diganggu." Yang sejujurnya, karena dia merasa tidak nyaman duduk berdua dengan pria yang tidak dikenalnya di tempat seperti ini. Dari celotehan saja Eve tahu kalau pria ini tidak berniat memesan minuman. Eve mana tahu kalau ternyata pria ini berniat macam-macam. Alasan lainnya karena...

Ada si Mata Empat disini! Bisa rusak dong citra Eve di mata keluarga Agil! Lagian tuh laki kenapa bisa ada disini sih? Eve tadi sempat melihat ada MacBook di depan pria itu duduk. Lagi kerja? Kerja apaan di tempat beginian? Mana bising lagi.

"Gue baru sadar satu hal. Ternyata ini pertama kalinya gue ditolak cewek di tempat ini." Pria di depannya bicara lagi.

"Maaf. Saya nggak bermaksud seperti itu." Potong Eve buru-buru. Jangan sampai pria ini tersinggung karena tindakannya barusan.

"Nggak, nggak. Lo jangan minta maaf. Gue yang harusnya minta maaf. Gue pikir lo cewek kesepian yang butuh dihibur."

Cewek kesepian yang butuh dihibur?

"Yaudah. Have fun."

Eve tak berniat merespon dan berpikir pria itu sudah beranjak namun ternyata pria itu malah mencondongkan tubuh ke arahnya dan berkata dengan suara lumayan pelan. "Teman gue yang di sebelah kesini karena urusan kerja. Dia nggak bisa bantu nge-hibur lo." Lalu dengan begitu saja menoleh ke arah temannya. "Bro, gue ke toilet bentar."

Terang-terangan Eve melempar delikan sebal pada pria yang sudah beranjak itu.

Siapa juga yang butuh dihibur teman lo itu? Adik teman lo itu pacar gue tau. Dan juga, gue bukan cewek kesepian yang butuh hiburan!

Fiuh. Sayangnya kalimat itu harus tertahan di dalam kepala Eve, mengingat pria yang berbicara padanya adalah orang asing. Mereka tidak saling mengenal. Coba saja yang bicara begitu padanya adalah Sania, Eve pasti sudah teriak didepan wajah Sania, menyuarakan isi kepalanya itu.

Sania!

Memikirkan Sania membuat Eve begitu saja melompat turun dari kursinya dan menyeret tas diatas counter. Sial! Kenapa dia jadi lupa pada Sania? Eve baru akan beranjak dari sana saat tangan kanannya dicekal seseorang dari belakang. Menelengkan kepalanya Eve terkejut mendapati Gerald sudah ada dibelakangnya. Tangan pria itu memegang pergelangan tangannya dengan erat.

"Eh, Pak Gerald." Dengan kikuk Eve menyapa pria itu. Sepertinya dia akan diinterogasi mengenai keberadaannya di tempat ini. Gawat. Dia bahkan belum mendapatkan kepastian soal Sania.

"Mau kemana kamu?"

"Hah? Oh, saya--"

"Saya tidak tahu kalau ternyata kamu seliar ini."

"Hah? Apa? Li-- li..ar?"

"Iya. Liar. Apalagi sebutan yang cocok untuk perempuan yang berada ditempat seperti ini pada malam hari? Saya menduga adik saya tidak tahu hal ini, melihat dia yang mengagungkan kamu seolah kamu adalah satu-satunya perempuan di muka bumi."

"Pak, sebe--"

"Kamu bahkan akan menyusul Vano ke toilet."

"Vano? Vano siap-- pria tadi itu?"

Eve merasakan cengkraman di pergelangan tangannya terlepas.

"Ah, seharusnya saya tidak terkejut kamu tidak mengenalnya. Seorang perempuan malam memang seperti itu kan? Menjajakan tubuhnya pada siapa saja tanpa peduli siapa dia."

"Saya bu--"

"Saya yakin kamu bukannya tidak mampu. Upah yang kamu dapatkan dari Addvos seharusnya cukup untuk membiayai kehidupan kamu di kota ini. Saya juga tidak peduli untuk apa kamu bekerja di tempat seperti ini. Tapi saya tidak menyangka kamu masih mengincar adik saya juga. Dugaan awal saya ternyata benar. Kamu benar-benar perempuan penipu."

"Cukup."

"Listen. Agil itu adik saya. Kebanggaan saya setelah Mama dan Papa. Saya akan melakukan apa saja untuk mereka. Tidak terkecuali menyingkirkan perusak seperti kamu dari hidup Agil."

Evelyn menggeleng sedih. "Cukup Pak."

"Saya tidak akan berhenti sebelum kamu jelaskan tujuan kamu mendekati adik saya."

"Sa-- saya" Eve terbata. Dadanya seperti ditusuk jarum. "Harus ke toilet."

"Ternyata kamu benar-benar perempuan murahan."

Eve mengerjapkan mata, menghalau air mata agar tidak keluar. "Ba-- Bapak tidak berhak menghakimi saya. Bapak bukan Ayah saya."

"Saya memang bukan Ayah kamu. Tapi seharusnya Ayah kamu bisa mendidik kamu dengan be--"

PLAK.

Tangan Eve terangkat menampar Gerald. Tidak keras. Karena sejujurnya Eve tidak punya tenaga lebih. Sekujur tubuhnya gemetar. Seumur hidupnya Eve belum pernah berada dalam situasi seperti ini.

Dengan tatapan terluka wanita itu menatap Gerald yang memegang pipi dengan kedua alis menyatu. "Anda boleh berkata apapun tentang saya. Tapi jangan Bapak saya." Air mata Eve jatuh. "Jangan pernah... menghina Bapak saya." Katanya sambil menghapus air mata.

Eve memutar tubuhnya membelakangi Gerald. Bahu wanita itu berguncang pelan karena tangisan. Saat mengangkat wajahnya Eve melihat Sena yang berdiri bersama Sania. Tangis wanita itu semakin kencang saat menemukan Sania berdiri dalam keadaan baik-baik saja.

***

EAGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang