Tujuh Belas

1.4K 97 6
                                    

Awalnya Eve yakin Gerald adalah tipe pria cool dan cuek yang tidak akan mau menyusahkan diri dengan mendekati seseorang hanya untuk mendapatkan maaf. Mengingat seseorang itu bukan siapa-siapanya, hanya kebetulan saja menjadi kekasih adiknya yang mungkin bisa putus kapan saja.

Namun, mengingat lagi kejadian sebelumnya di kantor dan di dapur Ibu Mefa, Eve menjadi ragu akan pemikirannya itu. Gerald akan menghubunginya, setidaknya itu yang Eve pikirkan setelah dia dengan sok cool pergi meninggalkan pria itu tanpa mau mendengarkan penjelasan.

Sayang, malam baru saja berganti siang sebanyak tiga kali dan Eve mendapati dirinya membuka kembali chat yang dikirimkan Gerald padanya. Chat pertama yang juga merupakan satu-satu nya chat dari pria itu. Gerald belum menghubunginya sama sekali dan Eve diam-diam mulai bertanya.

Jemari Eve tergerak untuk membuka profil picture. Disana ada foto Gerald yang memakai kacamata, sedang menunduk untuk menulis sesuatu. Entah pria itu sengaja memasang pose seperti itu atau memang dia tidak sadar saat sedang diabadikan, yang jelas saat serius pun Gerald masih saja terlihat menawan. Eve yakin, meskipun bukan seorang eksekutif muda, first impression Gerald pastilah cukup bagus di mata orang-orang yang mengenalnya.

Menghela napas sekali, Eve memutuskan untuk menghapus chat dari Gerald.

Tidak ada gunanya dia bertanya-tanya, karena nyatanya Tuhan memang maha adil. Dia mewariskan kelebihan pada seseorang dengan kekurangan untuk melengkapi. Tuhan mewariskan Gerald kelebihan fisik dan kekurangan pada pola pikirnya.

Gerald menilai sesuatu berdasarkan presepsi. Eve tidak menyukainya yang dengan mudah menyimpulkan sesuatu tanpa bertanya lebih dulu untuk mencari tahu. Mulut pria itu juga tidak bisa ditolerir. Seperti mengatainya murahan saja tidak cukup, Gerald juga sampai hati mengatainya perempuan biasa yang miskin.

***

"Pakai repot segala bawaiin salad gini. Kamu nggak terpaksa kan nganterin tupperware langsung sama Tante?"

"Nggak kok Tante. Justru Eve mau minta maaf baru bisa dateng. Niatnya mau bareng Pak Agil ke sini tapi Pak Agil nya sibuk. Eve jadi nggak enak nunda terus. Nggak repot juga Tante. Masa pas tupperware nya dibawa ada isi terus di balikin isinya kosong? Kan nggak enak juga Tante."

"Coba kamu nggak ketemu Agil duluan, pasti udah Tante angkat kamu jadi anak."

Eve hanya terkekeh malu mendengar perkataan Ibu Mefa.

"Tante lagi bikin jus di dapur. Nanti kamu sekalian makan malam disini aja ya,"

"Em, tapi Pak Agil katanya makan malam diluar."

"Kalian mau kencan berdua?"

Eve menggeleng kecil. "Bukan sama saya. Katanya sama Bu Bertha."

Ibu Mefa berhenti mencicipi salad yang baru di ambilnya se-sendok "Loh? Kenapa kamu nggak sekalian diajak?"

"Saya nggak tahu Tante. Mungkin ada hal penting yang mau dibahas Pak Agil sama Bu Bertha."

"Anak itu, benar-benar." Ibu Mefa berdecak, meletakan sendok dan piringnya. "Yaudah, kamu makan disini aja bareng Om dan Tante."

"Nggak usah Tante. Saya juga bentar lagi pulang kok."

"Kamu menolak Evelyn?"

Eve merasa serba salah. "Saya hanya nggak enak sama Tante dan Pak Bram."

"Nggak enak gimana? Kamu merasa nggak nyambung ngobrol sama Om Tante?"

"Bukan gitu." Eve menyela cepat. "Saya...itu, cuma ngerasa sungkan saja sama Tante. Saya hanya kekasih Pak Agil, bukan siapa-siapa di keluarga Tante dan Pak Bos, dan biasanya juga sama Pak Agil kalau ke sini. Niatnya tadi memang mau ngaterin ini saja Tante."

EAGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang