Sembilan

1.8K 146 16
                                    


"Dia itu Arsitek."

"Oh ya?"

"Iya. Setahu gue dia ke Australi karena ada proyek disana. Nggak tahu juga kenapa dia balik."

"Lo punya nomornya nggak?"

"Nggak. Mau ngapain sih?"

"Ma--"

"Sorry. Tapi lo berdua bisa pelanin suara dikit nggak? Gue nggak bisa konsentrasi nih."

Evelyn yang berusaha fokus dengan pekerjaannya jadi merasa kehilangan konsentrasi mendengar celotehan Helen dan Ningsih--Sekretaris Direktur Utama--yang semakin menjadi-jadi. Bahkan Helen baru saja secara terang-terangan meminta nomor ponsel pada Ningsih. Sesuatu yang menurut Eve tidak perlu dibahas dengan volume toa disaat bukan keduanya saja yang berada di ruangan ini.

Gue kasat mata kali ya? Batin Eve bertanya namun merasa tak cukup peduli.

Sepertinya begitu karena baru saja saran darinya bukannya diindahkan, Eve malah mendapati kedua wanita itu menoleh sekilas padanya lalu tanpa peduli kembali melanjutkan obrolan dengan volume suara yang sama. Merasa dijadikan angin lalu, Eve menjatuhkan kembali pantatnya ke kursi sembari mengelus-elus dada dan berusaha agar tidak mengeluarkan suara berupa umpatan.

Sabar, sabar. Orang sabar jodohnya dekat. Batinnya kembali.

Semuanya berawal dari kedatangan anak sulung Direktur Utama ke Addvos yang sukses menciptakan kehebohan satu kantor. Bahkan saat tiba di kantor tadi Eve disambut Tiara, anak divisi marketing dengan kalimat, "Eh, Mbak. Divisi lo kejatuhan berkah ya, yang hot-hot malah main kesitu."

Namun Eve yang belum paham hanya tersenyum sekilas seraya meneruskan langkah. Sampai di pintu masuk menuju divisi redaksi Eve malah menemukan kelompok sekitar lima orang--yang isinya wanita semua--sedang bergosip ria.

"Gila ya Pak Gerald. Udah lama nggak kelihatan, sekarang makin ganteng aja."

"Kulitnya juga coklat gimanaaa gitu. Efek matahari luar negeri kali."

"Yang hot begitu kayaknya udah taken deh."

"Kira-kira Pak Gerald main ke redaksi ngapain ya? Bukannya dia biasa langsung ruangan Dirut?"

Mendengar itu semua Eve yang awalnya tidak paham pun menjadi paham sepaham pahamnya. Merasa bahwa semua pembicaraan itu tidak penting dan bukan urusannya, Eve menghindari menyapa para wanita itu lalu masuk ke ruang kerjanya begitu saja.

Sayangnya seperti belum cukup Eve masih harus mendengar hal yang sama dari Ningsih, wanita yang biasanya betah duduk di meja sekretaris Dirut dan jarang turun ke lantai dua jika tidak ada keperluan mendesak. Namun kini wanita itu seperti punya banyak waktu dengan menyambangi divisi di lantai dua ini selama hampir se-jam.

"Dia tuh biasanya kalau datang ke kantor langsung ke ruangan Pak Bos. Jadi gue agak heran kenapa dia main kesini."

Masih dengan fokus yang terganggu Eve terpaksa harus mendengar perkataan Ningsih.

"Mau ketemu sama Pak Agil lah. Kan sekarang lagi di ruangan Pak Agil." Sambung Helen dengan volume suara yang tidak tahu diri. Sebenarnya Helen bisa sebebas ini karena Bagas tidak ada di kantor. Pria itu sedang bersama Rendy mengunjungi kantor percetakan terkait buku yang akan diterbitkan. Sedangkan Kartika yang biasanya cukup membantu melawan Helen dengan mulut cerewetnya juga tidak ada.

"Pak Agil biasanya naik ke atas kalau Pak Gerald datang. Mereka biasanya ngumpul di ruangan bos."

"Yaudahlah biarin. Gue bersyukur kali dia ke sini, kan gue jadi tahu kalau potensi lelaki idaman di sekitaran gue belum sepenuhnya punah." Kata Helen yang disambut dengan tawa oleh Ningsih.

EAGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang