Tiga Puluh Tiga

1.3K 75 9
                                    

Hallo...

EAGER datang lagi!

Happy reading guys 😊

***

"Good morning, hoping your day is full of God's grace, goodness, joy, peace, love and blessings."

Kalimat olahan papan WhatsApp itu dibaca sekali dengan nada pelan, memastikan bahwa tidak ada typo disana sebelum memutuskan mengirimnya. Memikirkan bagaimana balasan dari si penerima atas sapaan hangatnya pagi ini membuat sudut-sudut bibir Eve kembali tertarik ke atas ketika melakukannya.

Untuk kesekian kali sejak menarik diri dari kasur hingga memulai rutinitasnya dengan bekerja Eve menemukan dirinya selalu ingin melakukan itu. Bibirnya seperti tergerak sendiri padahal ia sendiri sudah mencoba sebisa mungkin untuk menahannya. Seolah-olah Eve tidak lagi memiliki kendali atas tubuhnya sendiri.

Pun membingungkan karena Eve merasa seperti berada dalam dua kondisi di satu waktu. Kewalahan sekaligus ketagihan. Meski ini terasa baru dan asing Eve tetap saja tidak keberatan untuk mengalaminya lagi dan lagi.

Sejujurnya dia sudah khawatir perasaannya semalam menghilang layaknya buih ketika dia membuka mata pagi tadi. Hanya saja saat tubuhnya berbalik dan menemukan ponselnya masih di tempat yang sama meski dalam keadaan mati, Eve sadar dia kembali berada dalam perasaan itu. Berbunga-bunga dengan bibir yang ingin terus tersenyum sesekali menyengir seperti orang tak waras.

Benar separah inikah efek jatuh cinta?

Ah, lebih baik begitu, karena akan sangat menyedihkan jika yang terjadi padanya adalah pengaruh hormon semata.

"Bangke, ssshh!"

Atensi Eve pada ponsel untuk sekejap teralih. Tanpa bersusah payah menutupi euforia nya, Eve membawa pandangan menuju asal suara. Sekadar memuaskan mata atas siapa penerima kata setara busuk itu di pagi hari ini.

Sayang tak ada yang Eve jumpai disana selain pencetus kata itu seorang. Adalah Daniel yang berjalan dengan satu tangan menjinjing tali tas dan satunya menempel di pipi.

"Kenapa lagi, Dan? Pagi-pagi bahasa lo udah bangke aja." Bagas yang muncul dari arah pantry bertanya bosan sembari meminum kopinya.

Memang siapa lagi yang punya mulut 'sampah' di ruangan ini selain Daniel. Eve bahkan tidak mau repot bertanya karena netranya ke sana sebatas ingin tahu siapa korbannya.

"Sakit gigi gue."

Bagas langsung bergumam maklum begitu mendengarnya. Beda hal dengan Eve yang tak acuh menyimpan ponselnya untuk beralih pada komputer yang sedari tadi menontonnya. Sakit gigi ini, semua orang juga pasti tahu rasanya bagaimana. Meski Eve sendiri tidak mengerti apa faedahnya mengumpat di saat sakit gigi.

"Udah minum obat lo?" Bagas bicara lagi. "Minum yang mana? Coba Ponstan. Gue biasa yang itu."

"Lo juga tahu Mas obat itu?" Daniel yang menyimpan tas tiba-tiba berdecak kesal.

"Tahulah. Gue pernah minum ini."

"Gue mampir Apotek barusan. Niatnya mau beli obat itu. Tapi pegawai disana malah melotot terus lihatin gue kayak apaan. Dia baru berhenti pas gue bilang obat sakit gigi."

"Lah? Memang lo bilang gimana?"

"Gue bilang Ponstar. Beneran Ponstar gak ada r di antara o dan n. Tuh pegawai aja yang telinganya bermasalah."

Jangan ditanya bagaimana reaksi kedua orang yang mendengarnya. Sudah pasti adalah tertawa. Bagas sampai memegang gelasnya erat dengan dua tangan, takut minumnya tumpah akibat tubuhnya yang berguncang.

EAGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang