607

1.4K 179 66
                                    

Pagi ke pagi kian terasa sunyi, hanya dapat berdiam diri menjalani apa yang terkadang tidak siap dijalani. Bukan daya tarik, melirik murid-murid baru yang sekarang sudah menjadi adek kelasnya sendiri. Sama sekali, bahkan dirinya tidak tertarik pada brondong. Padahal sesekali teman gadis jangkung yang disebutnya Nanda itu selalu memberikan option pilihan lelaki untuknya yang sedang menjalani hubungan jarak jauh bersama pacarnya kini.

Namun, Chika masih ingin mengatasi perasaannya untuk bergelut dengan jarak yang menjadi batas antara dirinya dan Gito itu. Terbilang usia pacaran mereka sudah hampir menginjak satu tahun setengah. Tak mungkin jika hanya karena bentangan jarak itu membuat keduanya sama-sama berpisah. Apalagi, Gito sudah berjanji jika ingin menyelesaikan kuliah dengan cepat dan pulang ke Indonesia untuk segera melamar Chika yang nantinya akan masuk ke perguruan tinggi negeri.

Jika dulu, Chika selalu berangkat berdua dengan si ketua osis. Sekarang tidak, ia tetap melanjutkan rutinitasnya untuk diantar Pak Joko ke sekolah. Jika dulu, Chika selalu membawakan bekal untuk Gito. Sekarang tidak, ia membawa bekal untuk dirinya sendiri. Chika sedih menjalani ini semua, tapi mau bagaimana lagi. Kalaupun Gito kuliah di Jakarta, tak mungkin juga anak lelaki itu tetap melakukan rutinitasnya bersama Chika seperti antar jemput, makan bekal, atau bercerita bersama dibawah gedung sekolah. Sudah bukan masanya lagi bagi Gito, melakukan hal seperti itu bersama Chika.

Awal-awal mungkin Chika masih bisa tersenyum lebar mengatasi kepergian Gito yang terasa cepat sekali. Tetapi, setelah memasuki 2 bulan dan sekarang hampir 3 bulan. Sepertinya Chika ingin pingsan saja dan memutar mesin waktu untuk bisa segera bertemu Gito di masa depan. Hubungan LDR memang berat, hanya 50 persen kurang sedikit presentase hubungan itu akan berhasil dan sampai pada jenjang serius. Chika bertekad, ia akan menjadi bagian dari 50 persen orang tersebut untuk melestarikan pejuang LDR.

Bagaimana mau berjuang, jika gadis jangkung itu saja pagi-pagi sudah merenung sendiri di atas bangku kelas melihat foto dirinya bersama Gito. Kenapa sedari dulu, banyak sekali kenangan yang terlewat begitu saja bersama kekasihnya. Harusnya Chika lebih sering melakukan hal berdua yang ia inginkan seperti pergi ke kebun binatang saat hujan, memancing ikan bersama, bermain di game fantasia, makan ketoprak di pinggir jalan.

Tunggu, makan ketoprak di pinggir jalan? Bukannya Chika pernah melakukan itu bersama pria lain? Benar sekali, bersama Vion. Itu menjadi salah satu kenangan yang Chika buat untuk terakhir kalinya, bukan bersama Gito melainkan bersama Vion. Sampai sekarang, ia yang di landa rindu oleh perginya Gito juga di landa sendu oleh perginya Vion. Kemana sebenarnya lelaki itu pergi? Sampai tak ada jejak sedikitpun.

Saat malam dimana dirinya bersama Vion makan di sebuah restoran di kawasan kota tua. Anak lelaki itu mengantarkan Chika pulang. Ia juga menemui Shani dan merangkul ibunya dengan begitu erat. Tetapi, tak sedikitpun kata selamat tinggal di ucapkan Vion pada Shani. Bahkan hanya di restoran saja, Vion berkata seperti itu pada Chika. Apakah tandanya, Vion akan kembali lagi menemui Chika nantinya?

Sudahlah daripada memikirkan Vion, lebih baik Chika menyelesaikan tugas matematika saja mumpung pelajaran belum dimulai. Saat Chika sedang fokus-fokusnya mengerjakan tugas itu dan menunggu bel berbunyi. Handphone Chika yang ada di dalam laci bergetar cukup kencang mengagetkan dirinya. Melihat dari layar notifikasi, hanya sebuah pesan singkat yang hadir dengan nomor pemilik tanpa nama disana.

+6281234567890

607

Pesannya hanya itu, semacam nomer togel atau nomer kamar hotel? Mungkin saja, hanya SMS iseng. Kemudian, Chika tak akan ambil pusing. Dia tak ingin mengasah otaknya dipagi hari terlalu keras. Ditutuplah ponsel miliknya dan dimasukkan lagi ke dalam laci. Ia memilih untuk menyelesaikan tugasnya kembali.

TULIP [VIKUY]  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang