[Epilogue]

935 178 89
                                    

Indah sekali.

Katie tak tahu sudah berapa kali ia merasakan desakan besar untuk kembali menangis walau ia sudah melakukannya hari itu. Ia menangis ketika melihat Irene yang tampak seperti dewi dalam balutan gaun putihnya yang cantik, ia menangis ketika Irene berjalan melalui altar sementara Darren menunggunya di ujung dengan tatapan memuja, ia menangis ketika sumpah pernikahan mereka usai diucapkan, dan ia hampir saja kembali menangis menatapi betapa sempurnanya ke dua sahabatnya yang sedang berdiri berdampingan untuk memberi kata sambutan pernikahan -  andai saja sebuah suara familiar menyebalkan tidak menginterupsi pikirannya.

"Berhentilah menangis, Hathaway." Ansell Jeon tiba di sisinya, pemuda itu menangkup belakang kepalanya dan menepuk-nepuknya dengan afeksi yang membuat Katie merapatkan tubuhnya pada si pemuda.  "Ibunya Irene saja tidak secengeng kau."

Katie mendengus, namun sudah sepenuhnya mengerti bahwa lebih menyenangkan untuk menikmati gestur lembut Ansell dibandingkan mendengarkan kosa katanya yang kemungkinan akan membuat ia naik pitam. "Jangan merusak suasana haru biru ku." Ia lantas membawa turun tangan si pemuda dari kepalanya dan mengaitkan jemari mereka sebelum menariknya berjalan menuju meja mereka. "Irene dan Darren seperti tokoh di dongeng, pantaskan aku terharu?"

"Kau hanya tak tahu bagaimana saat-saat buruk dalam kisah mereka. Sama sekali tak seperti dongeng." Ansell terkekeh ketika menyadari ia baru saja menghancurkan sebuah kisah maha sempurna yang terbentuk di dalam otak Katie. Ia lantas dengan pasrah menerima satu tinjuan di lengannya. "Bukan salahmu, sih. Kau memang kelewat sentimental."

"Dasar sialan." Katie mengumpat dan membuat Ansell semakin tergelak. Pemuda itu menarik kursi dan mempersilahkannya duduk terlebih dahulu, lalu mengambil dua gelas anggur putih dari seorang pelayan dan memberikan satu gelas padanya. "Memangnya seburuk itu?"

"Lumayan." Ansell menggerdikan bahu dan menyeruput anggur putihnya. Ia tersenyum ketika melihat Katie yang merengut mendengar jawabannya. Memangnya apa yang diharapkan gadis itu? Kisah cinta yang melulu indah bak pelangi gemerlap memangnya ada dalam dunia nyata? Seharusnya gadis itu yang paling tahu. Well, setidaknya Ansell menyadari itu dan rela mendapat jatah paling pahit jika akhirnya ia bisa bersama Katie seperti saat ini.

Katie merotasi matanya malas, lantas ia memilih mengalihkan atensinya pada Irene dan Darren. Mau tak mau bibirnya mengembangkan senyum. Ia bukan pecundang bodoh yang tak tau cinta mengundang banyak kepahitan, tapi lihat ke dua sahabatnya itu, entah hal menyebalkan macam apa yang telah mereka lalui, toh akhirnya mereka bersama seperti saat ini - mengucap janji hingga maut memisahkan. Ia melirik Ansell di sisinya yang nampaknya masih menganggap dirinya objek paling menarik untuk dipandang, pemuda itu tersenyum membalas tatapannya, dan Katie bisa mendengar dalam diam bahwa hatinya berdoa untuk memiliki akhiran yang indah dengan pemuda itu.

"Hei," Ansell menjentikan jarinya di depan wajah Katie, dan menyerngit ketika gadis itu terkejut. Ia menghela nafas. Sungguh, gadis itu punya kebiasaan melamun yang sejujurnya membuatnya takut. Siapa yang tahu apa yang ada di dalam otaknya? Demi tuhan, Ansell yakin dirinya tidak sanggup jika gadis itu memikirkan yang tidak-tidak, barangkali seperti meninggalkannya lagi. "apa yang kau lamunkan?"

"Kau." Katie menggerling jenaka pada Ansell, berpikir bahwa mungkin ia tak punya keberanian mengatakan hal seperti ini sebelum hari kamarin. "Kenapa? Apa tidak boleh?"

Alih-alih menjawabnya Ansell Jeon justru menyerigai jahil. Pemuda itu lalu berdiri dan mengulurkan satu tangan kepadanya, dan membuatnya menatap pemuda itu dengan tanda tanya imajiner.

"Shall we dance?"

Huh? Mengapa tiba-tiba? Katie mengerutkan kening, namun ketika ia mendengar suara denting piano, ia tersenyum. Ansell Jeon sedang mengajaknya berdansa, baru saja bicara dengan aksen Inggris kental dan tuxedo hitam yang membuatnya terdengar dan terlihat seperti tokoh dari buku roman klasik milik kakeknya. Ia lalu menggenggam jemari Ansell dan membiarkan pemuda itu membimbingnya menuju lantai dansa, di mana ke dua mempelai sudah mulai terlebih dahulu.

Juliet's Little AnswerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang