Are We Too Late?

725 174 110
                                    

P.s : Tidak mengandung unsur yang membatalkan puasa.

(。・ω・。)

Pagi itu Ansell Jeon terbangun dengan kepala yang berdenyut hebat dan punggung yang luar biasa pegal, dipangkuannya masih terdapat satu botol bir yang sudah tandas sepenuhnya, jangan lupakan beberapa yang tergeletak di bawah kakinya. Ia menggelengkan kepala, berusaha mengusir sisa-sisa kantuk. Sial betul, pikirnya. Lain kali ingatkan dia untuk tak minum alkohol tengah malam dan duduk merenung di sofa sampai jatuh tertidur.

Pemuda itu berdiri dan berderap menuju nakas kecil di samping tempat tidurnya, mengambil sebutir kecil tablet pereda hangover  dan langsung menenggaknya. Setelahnya ia merosot dan jatuh terduduk di lantai, menumpukan kepalanya pada dua lututnya yang tertekuk, berusaha mengusir pening yang menguasai kepalanya. Ah, Ansell sungguh tak ingat, kapan terakhir kali ia bisa luar biasa mabuk seperti ini - ia tahu ia memiliki toleransi alkohol yang tinggi. Ia pasti sudah gila dan kelewat menyedihkan semalam, bahkan pakaiannya belum berganti sama sekali dari kemarin, masih setelan resmi yang dipakainya ke pernikahn granny - hanya saja jasnya sudah tergelak begitu saja dilantai.

Katie.

Ansell mendongakkan kepalanya ketika nama itu terlintas begitu saja dipikirannya. Ah, tentu saja gadis itu yang membuatnya frustasi bukan main semalam suntuk. Dasar keras kepala, kenapa dia tak menuruti Ansell dan duduk diam disana? Pemuda itu mengumpat, kali ini ia tak lagi hanya memikirkan Katie Hathaway yang mungkin sakit hati karenanya, tapi ia juga memikirkan dirinya sendiri - pemuda menyedihkan yang merengek seperti anak remaja patah hati semalaman - dan Lisa.

Alisa Clark, mantan kekasihnya yang ternyata lebih tangguh dari pada apa yang ia pikirkan.

Ansell menghela nafas, teringat percakapannya dengan gadis itu semalam. Seperti mimpi, sebulan lalu ia tak pernah membayangkan sama sekali kalau ia bisa baik-baik saja tanpa keberadaan Lisa.

"Apa kau ada waktu untuk bicara denganku?" Kalimat tanya retoris itu adalah kalimat pertama yang diucapkan Lisa. Gadis itu terdengar lesu dan tidak setegas biasanya, bahkan tanpa melihat sosoknya pun Ansell tahu gadis itu pasti sedang mengalami sesuatu.

"Apa kau baik-baik saja, Lis?" Ansell tak mungkin mengabaikan pertanyaan dasar seperti itu, bahkan walau Lisa bukan lagi penguasa hatinya sepeti dulu, Ansell masih menganggapnya seseorang yang berharga. "Apa ada sesuatu yang terjadi?"

"Tidak. Hanya pekerjaanku melelahkan sekali." Terdengar helaan nafas berat di seberang sana. "Ansell, ada yang harus aku katakan padamu. Kupikir sudah waktunya kita bicara dengan benar."

Ansell melenguh. Apapun itu, ia tak mungkin kembali pada Lisa, dia tidak cukup berengsek untuk membodohi gadis itu. Lagipula, Ansell tak mungkin rela melepas Katie begitu saja. "Benar. Bicaralah lebih dulu."

"Ansell, apa kau tau seberapa besar perasaanku padamu?"

Ansell menyerngit, pertanyaan itu tak pernah terlintas di pikirannya. Lisa mencintainya, tentu saja ia tahu. Tapi seberapa besar rasa cinta itu, ia mana tahu. Ia justru berpikiran perasaan gadis itu memudar seiring waktu berlalu.

"Aku sangat, amat mencintaimu." Lisa terdengar parau, ia berdeham sebelum melanjutkan. "Kau mungkin tak merasakannya, karena aku terlampau tak mampu untuk menunjukannya."

Rasa bersalah mulai menggerogoti dirinya. Gadis itu mencintainya sama seperti ia mencintai gadis itu, dulu. "Lisa, aku tahu kau mencintaiku."

Juliet's Little AnswerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang