In The Pouring Rain

669 176 49
                                    

Ada yang berubah dari Ansell Jeon.

Dia masih badebah jahil dengan mulut yang suka bicara sembarangan, tentu saja. Dia masih seorang penggerutu yang menjengkelkan. Juga, masih pemuda menawan yang kerap kali membuatnya kalang kabut - oke, abaikan saja bagian itu. Bukan itu konteks perubahan yang Katie maksud, ia tidak yakin apa yang berubah, tapi jelas memang ada yang berubah.

Setelah nyaris tiga puluh enam jam penuh Ansell mengisolasi dirinya, membatalkan janjinya untuk menemaninya dan Irene mencari hadiah pernikahan untuk Granny, serta mengabaikan sebelas panggilan dan delapan belas pesannya, pemuda itu kini berdiri di depan pintu kamar penginapannya. Dengan pakaian santai serba hitam, rambutnya yang mulai memanjang diikat menjadi satu di balik kepalanya, dan senyum jahil yang selalu ada diwajahnya.

Tapi bukan berarti Katie tak melihat sorot sendu dan kantung gelap di bawah matanya.

"Hai"

Satu kata ringan dan Katie ingin menendangnya sampai ke London.

"Well, cuma itu yang kau katakan setelah menghilang tanpa kabar dan membuatku menjadi 'orang ketiga' di antara Irene dan Darren seharian kemarin?" Katie melipat kedua tangannya di dada, memasang ekpresi jengkel dan menghalangi pintu kamarnya."Sana pergi. Hush!"

"Aku tahu aku membuatmu khawatir." Ansell memasang wajah polos, menggerdikan bahunya. Menyentuh kedua bahu Katie, menggesernya menyingkir dari depan pintu dan melompat ke tempat tidur gadis itu. "Kau punya makanan tidak? Aku lapar."

Dasar badebah tidak tahu diri

"Aku tidak khawatir." Ia mengucap bualan yang terasa pahit di lidahnya sendiri. Menghela nafas dan melirik kaki si pemuda yang menjuntai keluar dari kasurnya, masih terbalut sepatu hitam. "Lepas dulu sepatumu, dasar menyebalkan."

Ansel tidak menanggapi ucapan gadis itu, namun ia bangun,  melepas sepatunya dan menyusunnya di rak sepatu Katie. "Kenapa galak sekali sih? Tahu tidak, kau jelek kalau sedang marah."

Katie memutar matanya malas. Ia melirik Ansell yang kini merebahkan tubuhnya di tempat tidur dan memainkan ponselnya. Diam-diam merasa lega pemuda itu baik-baik saja. "Aku punya pai apel dari Irene, kau mau?"

"Oh tentu! Terimakasih Kate, kau yang terbaik!" Ansell duduk dan menatapnya antusias. Ketika Katie membawakannya sepotong besar pai apel ia melahapnya tanpa pikir panjang. "Wah wah. Ku rasa Irene sudah pantas jadi ibu rumah tangga, atau seharusnya dia buka toko kue disamping toko bunganya."

Katie terkekeh. Siapa yang bisa menolak Ansell Jeon di saat seperti ini? Pemuda itu terlihat menggemaskan dengan cara yang hampir membuat Katie merengek kesal. "Kemana saja kau kemarin?"

Ekspresi antusias pemuda itu meluruh. "Tidak ingin ku bahas" sedetik kemudia senyuman menyebalkan terbit diwajahnya, ia menarik pergelangan Katie dan membuat gadis itu jatuh terduduk di sisinya. "Kau rindu padaku ya? Mengaku saja."

Kalau Ansell Jeon sedang dalam mode seperti ini, ingin rasanya Katie memukulnya dengan salah satu sepatunya. Pemuda itu tidak tahu akibat apa yang ditimbulkan kalimat-kalimat cerobohnya pada perasaan Katie, yang mana ia yakini dalam seribu tahun pun tak akan berani ia sampaikan pada pemuda itu. Ia melenguh lelah. "Jangan terlalu percaya diri Jeon."

Ansell terkekeh ringan, mendorong tubuh Katie pelan dengan bahunya, dan kembali memusatkan atensinya pada pai apelnya. Katie melayangkan pandangannya pada sisi wajah pemuda itu, sebuah kebiasaan yang baru ia sadari, tiba-tiba ia merasa sedih. Kurang dari sepuluh hari kedepan ia akan kembali ke New York, dan Ansell Jeon juga akan kembali ke London. Katie tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, yang ia tahu, Verona telah menjadi kota yang berarti baginya, dan Ansell Jeon telah menjadi manusia favoritnya.

Juliet's Little AnswerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang