first of all, ramadan mubarak for those who celebrate it 🙏🏼🕊️
it's gonna be a long ass chapter ! i hope you enjoy it 🍻
♡︎♡︎♡︎
"Aku rasa sudah pelukannya." Harry berdeham di balik punggungku.
Lantas Bryan langsung mengenyahkan diri dariku. Sedikit kesal, dan membuatku memutar mata tanpa sepengetahuan orang lain.
Aku berbalik masih dengan memertahankan senyum konyol. Dadaku rasanya penuh, saraf senangku menari-nari hingga tubuhku meremang. "Aku tidak tahu cara kalian membawa Bryan ke sini. Tapi terima kasih."
"Kami bisa diandalkan." Dove menyengir. "Ini ide Harry."
"Sungguh?" aku yang mendengarnya terkejut. Satu-satunya yang membuatku bingung adalah, bukannya dia sempat mencurigaiku memiliki hubungan dengan Bryan? Dan sekarang ia malah mengundangnya untuk menyenangkan diriku? Tetapi setelah melihat ekspresi Bryan sekali lagi, kebingungan itu menguap walau semestinya mustahil.
Aku kembali menatap Harry. Ia tersenyum sambil menyerahkan Michelle kepada Dove kemudian meraih tanganku, meremasnya. "Tolong pertahankan senyum itu, meski tidak ada Bryan."
Bukan berarti hanya Bryan yang dapat membuatku tersenyum, pikirku murung. Sesungguhnya dia bisa jika ingin berusaha. Mataku menyelami hijau miliknya memikirkan siapa dan seberapa besar aku harus percaya padanya sekarang. Ada sesuatu ganjil yang membuat ukiran keraguan di hatiku belum memudar.
"Dengarkan suamimu, Steph. Kamu harus tetap tersenyum. Dan jangan mengurung diri di kamar lagi." Bryan memelankan kalimat terakhirnya. Menyindir. Tentu saja mereka sudah menceritakannya, pikirku.
"Ya, aku suka bertindak bodoh saat terlalu sedih." aku mengaku.
"Baiklah, ayo kita masuk ke dalam. Cokelat-cokelat ini berat." kata Frank mengintrupsi.
Marry, si pemilik panti asuhan ternyata sedang menonton drama kami dari kejauhan. Kami tersadar dan terkikih selagi menghampirinya.
"Senang melihat kalian ramai-ramai berkunjung." katanya begitu kami sampai di teras. "Biasanya Dove dan Stephanie berkunjung secara berpisah."
"Iya, sekarang jadwal kami berdua sama-sama kosong, Marry." ujar Dove memberi pelukan.
Aku mengikutinya. "Tu me manques." (𝖺𝗄𝗎 𝗆𝖾𝗋𝗂𝗇𝖽𝗎𝗄𝖺𝗇𝗆𝗎.)
"Tu me manques aussi, ma belle." (𝖺𝗄𝗎 𝗆𝖾𝗋𝗂𝗇𝖽𝗎𝗄𝖺𝗇𝗆𝗎 𝗃𝗎𝗀𝖺, 𝖼𝖺𝗇𝗍𝗂𝗄.) ujarnya sambil menepuk-nepuk punggungku. "Oh, lihat, kita kedatangan tamu baru. Siapa pemuda ini?"
"Dia Bryan, teman kami."
"Bonjour, Madame." sapa Bryan.
"Bonjour. Kamu orang lokal? Kita terbiasa menggunakan bahasa Inggris untuk menghormati Harry."
"Itu tidak masalah, aku dapat berbicara dua bahasa."
Aku mengamati Harry dan Bryan secara bergantian. Harry bergeming, memertahankan sebuah senyuman, sambil meremas satu tanganku yang ia genggam. Perhatianku jadi penuh pada dirinya. Entah secara sadar atau tidak, ucapan Bryan barusan memang lebih seperti menyombongkan diri. Saat Harry melihatku, bahuku hanya terangkat tanda tak acuh. Itu semua salahnya sendiri. Ia tidak pernah mau belajar. Bahkan saat awal menikah dulu, kerap kali ia memprotes ketika aku berbicara menggunakan bahasa pertamaku dengan ibu atau Dove sebab ia tidak mengerti. Konyol.

KAMU SEDANG MEMBACA
THE END
FanfictionAku bersamamu karena sebuah ikatan, bukan landasan. H ✎ 𝘰𝘯 𝘨𝘰𝘪𝘯𝘨 ... 「written in bahasa 」 Copyright ©2020 by 𝘁𝗮𝗸𝗶𝗻𝗴-𝗮𝗹𝗹𝘁𝗵𝗲𝗿𝗶𝘀𝗸