15 // separate //

339 61 38
                                    

WARNING ‼️

••

Aku terus berusaha menikmati tidurku yang nyenyak sampai aku merasakan pergerakan di ranjangku. Sialan. Samar-samar kurasakan nyeri di sekujur tubuh saat aku mulai dirasuki kesadaran. Aku membuka mata dan silaunya lampu yang menggantung di langit-langit langsung menyambutku. Lampu yang Gemma pilihkan dulu.

"Pagi."

Mendengar suara serak nan dalam tersebut membuatku menoleh ke samping mendapati Harry yang tersenyum dengan wajah khas bangun tidurnya. Senyumannya mempengaruhi  otot pipiku untuk ikut tertarik juga. Kami benar-benar terbangun layaknya sepasang suami-istri sungguhan.

Ingatanku kembali pada kejadian semalam, tidak percaya aku menceritakan aib terburukku pada Harry dan memberikan satu-satunya mahkota yang aku miliki padanya. Aku tidak tahu harus menyesal atau tidak. Semoga tadi malam ia melakukannya dengan cinta, meski aku tak yakin.

"Bagaimana tidurmu?" katanya memainkan rambutku. "Nyenyak?"

Aku mengangguk.

"Kamu sedikit berkeringat, apakah gerah? Atau kamu mimpi buruk?"

Aku menggeleng.

"Mhmm, apakah tubuhmu nyeri? Pegal? Sakit?"

Aku mengangguk.

"Hey, kemana suaramu? Apakah mereka habis karena kegiatan kita tadi malam?"

"Tidak!" bantahku cepat tidak terima. Aku melotot dan memukul dada telanjangnya. Batinku tidak menyangka, telah memberikan keperawananku pada pria semesum Harry.

Ia tertawa terbahak-bahak akan reaksiku yang mana kuyakini membuat pipiku semerah tomat. "Bercanda, Sayang. Habis, kamu tidak menjawab pertanyaanku."

"Dasar mesum."

"Mesum tapi kamu cinta."

Tunggu, cinta? Apa aku mencintainya? Lagi-lagi pikiran itu membuat kepalaku terasa berdenyut-denyut. Di saat seperti ini aku belum mau memikirkannya. Seharusnya aku lebih fokus untuk belajar mencintai Harry, dibanding bergulat dengan pikiran apakah aku sudah berhasil mencintainya yang mana suatu hari akan ada jawabannya, aku yakin.

"Steph, terima kasih."

"Untuk?"

"Kamu tidak pantas untuk mendapat perlakuan kriminal itu. Kamu pantas menjadi bagian hidup siapa saja. Aku menerimamu apa adanya, sungguh. Jangan anggap dirimu kotor lagi. Aku tidak jijik. Buang jauh-jauh pemikiranmu. Aku mohon kita dapat melalui semuanya. Tolong buka sedikit hatimu untukku."

Air mataku kembali menitih. Ternyata masih ada pria di dunia ini yang mau menerimaku dibalik aib yang aku miliki. Aku memeluknya, mencari perlindungan dibalik lehernya. Aku tidak pernah merasa se-aman sekarang.

"Ajari aku untuk mencintaimu, Harry."

Harry balas memelukku, membimbingku untuk duduk di pangkuannya tidak peduli selimut yang awalnya menutupi tubuh kami menjadi terbengkalai. Ia meraih pipiku untuk ditangkupnya, menatap mataku dengan dalam sebelum menyatukan dahi kami dan berkata, "ya, aku akan."

Setelahnya, ia menyatukan bibir kami. Bibirnya yang hangat menyapu sekitaran bibirku kemudian lidah kami bergelut dengan tempo pas yang ia ciptakan. Meluapkan seluruh emosi kami di sana. Tak lama, Harry turun menyusuri rahang dan berujung di leherku. Aku meraih rambutnya sebagai tumpuhan untuk tidak mengeluarkan suara. Ia berhasil menemukan titik lemahku dengan tepat. Satu desahan lolos dari mulutku yang menyerukan namanya.

THE ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang