24 // the night 2 //

585 65 68
                                        

"Kamu benar-benar Stephanie?"

Aku tergelak, berhambur ke pelukannya. "You are everywhere!" pekikku girang. "Bagaimana bisa kamu terdampar di sini, huh?"

"Aku lebih mirip ikan paus, begitu?" Bryan balas memelukku erat, membuatku mengerang menyambut rasa nyaman dan kehangatan yang menjalari tubuh.

"Aku merindukanmu..." kataku semakin mengunci pergerakannya. Sepenuhnya mengabaikan leluconnya. Ini yang aku butuhkan. Sebuah pelukan. Bukan dimaki di pinggir jalan seperti yang Dove lakukan—dimana anak itu?

"Kamu tidak menghubungiku." ia membebaskan diri. Mataku langsung menjelajah mencari jejak Dove. Diam-diam mengutuk diriku sendiri. "Kamu mencari seseorang?" tanya Bryan.

Sial. Terlalu banyak yang terjadi pada satu malam. Kejutan tanpa memberiku kesempatan supaya bersiap. Mendapati Camille bersama Harry, bertemu produser terkenal, Dove menghilang, dan Bryan yang entah muncul dari mana. Selanjutnya apa lagi? Aku tidak mampu menerima kejutan lainnya. Malam tidak seharusnya menjadi sepanjang ini.

"Steph, kamu baik-baik saja?" Bryan mengguncang bahuku.

Mataku mengerjap tersadar akan keberadaannya kembali, mengakibatkan kami saling bertatapan. Hijaunya... hijau yang pernah selalu aku kagumi—dulu. Sekarang bukan hijau milik Bryan yang aku harap dapat menenangkanku.

"Dove. Kami terpisah. Seingatku dia memesan martini di sini sebelum aku mencari tempat duduk bersama temanku, Stella. Bantu aku, ya? Ibu bisa memenggal kepalaku jika dia celaka."

Aku tidak tahu dimana letak kesalahan perkataanku tapi yang jelas wajah Bryan berubah keruh. "Terakhir kali aku meminumnya dua tahun lalu, aku terbangun dengan boxer di kepala dan sabuk di leherku."

"APA?!"

"Yup. Tidak ada waktu untuk bercerita. Kita harus segera menemukan Dove." katanya mantap.

Setengah dari diriku membayangkan apa yang akan terjadi pada Dove. Tidak habis pikir, jika ia benar-benar akan berakhir demikian... maka—persetan. Pikirannya terlalu rasional sehingga wanita sok dewasa yang menjabat sebagai adikku hampir selalu bersikap ceroboh seumur hidupnya, melebihi diriku tetapi sialnya orang tertentu saja yang dapat menyadarinya. Dan sisa diriku lainnya lebih terfokus pada tangan yang menggenggam erat milikku.

Bryan membawaku mengitari lantai, senantiasa menggandeng tanganku. Rasa asing yang tiba-tiba muncul. Kehangatan pada dirinya seharusnya akrab tetapi megapa kali ini berbeda?

Ia berada di depan menerobos kerumunan. Mengakibatkan pengalihan pandanganku naik ke punggung lebarnya, seketika berdebar. Semuanya sudah berbeda. Mungkin reaksi kimia karena sudah lama tidak bertemu. Bahkan indra penciumanku perlu mengingat-ingat wangi tubuhnya akibat tidak sempat mengendus.

Ini aneh, sungguh. Kami pernah sangat dekat. Tidak ada yang mengalahkan kedekatan kami. Sekarang, apa profesinya saja aku tidak tahu.

Bryan berhenti di sekitar meja-meja orang yang penuh dengan hidangan malam mereka, agak jauh dari hiruk keramaian bar. "Bagaimana? Kamu menemukannya?"

Aku meringis tersadar kembali melupakan Dove. Apa yang aku lakukan dari tadi, astaga... seharusnya aku menggunakan mata untuk menemukannya bukan menebak wangi orang di depanku.

"Belum." kataku, memijat pelipis sekaligus menahan keinginan untuk menghancurkan punggung lebar Bryan.

"Sejujurnya, Steph, aku lupa wajah adikmu."

Di detik itu juga rasanya rahangku jatuh ke lantai. Jika saja batin tidak memperingati setidaknya dia tidak berbohong, bukan sepertiku yang kerap mencabangkan pikiran-pikiran dan payah untuk terfokus pada satu hanya karena hal sepele. Tetapi ini wajar dilakukan orang kacau.

THE ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang