6 // him //

313 70 20
                                    

Mengurungkan niat ke mobil, aku berlari merentangkan tangan dengan mimik wajah yang kuyakini menjijikan jika dilihat dan berhambur ke pelukannya. Bryan. Dia Bryan.

Dia membalas pelukan yang kuberikan dengan semangat yang sama. Oh, astaga, aku merindukan pria ini! "Bagaimana bisa kamu terdampar di sini?!"

"Ya Tuhan, berapa lama kita tidak bertemu?! Aku merindukanmu layaknya gila, Steph!"

"SAMA, ASTAGA!" jawabku tak kalah bersemangat darinya.

Tiba-tiba kami mendengar suara dehaman dari samping, membuat pelukannya terlepas. Dasar, perusak suasana.

Aku melirik sinis padanya. "Siapa ya? Kenal?"

Harry menggeram padaku. Aku tahu sangat susah menahan amarahnya terhadapku di depan publik. Gadis batinku tertawa keras. Perhatianku teralihkan kembali pada Bryan, dia tersenyum canggung.

"Santai saja, tidak perlu cemas, dia hanya Harry."

"Hanya Harry katamu?!" protes pria yang kuasumsikan sebagai adiknya. Jujur, wajahnya sangat berbeda dari dia di masa kecil.

"Ya."

☆☆☆

Harry bilang kita akan kembali ke LA sebelum mengunjungi Ibuku di Perancis. Aku lelah. Bagaimana uangnya tidak berhamburan jika di pikirannya hanya kerja, kerja, dan kerja.

Uang bulanan yang diberikannya selalu ia transfer ke rekeningku mengingat jarang sekali ia memberiku uang tunai. Entah berapa total jumlah di sana, nyaris tidak pernah tersentuh olehku. Aku hanya akan menggunakan uang itu ketika berbelanja kebutuhanku sendiri. Lain lagi jika kebutuhan kami. Di saat-saat seperti ini membuatku tersadar dan tak lupa bersyukur telah mendapatkan suami yang kaya raya.

Omong-omong soal Bryan, dia adalah mantan kekasih tapi bukan mantan kekasihku dulu. Kami pernah dekat, bahkah sangat dekat. Tapi, ya—begitulah, banyak takdir pemisah di antara kami. Dan sekarang aku belum dapat menerima fakta bahwa aku kembali dipertemukan dengannya. Oh, apa mungkin dia jodohku?

Dia juga orang Perancis, sama sepertiku. Hanya saja dia ke Inggris karena ada pekerjaan yang harus dia selesaikan—dia memberitahuku kemarin lalu kami saling bertukar nomor ponsel.

Apakah aku harus mengiriminya pesan duluan?

Ah, dimana-mana tidak ada teori sel telur yang mengejar sperma. Jadi, aku mengurungkan niatku dan mengembalikan tampilan layar ponselku ke beranda.

"Mengapa?" aku mendongak mendapati Harry sudah berdiri di hadapanku. Sejak kapan? "Mengapa tidak jadi berkirim pesan dengannya?"

"Sejak kapan kamu peduli? Sejak kapan kamu peduli kepada siapa aku berkirim pesan?"

Ia menghela napas, seperti pasrah. "Kamu tahu aku peduli padamu." katanya selagi duduk di sampingku.

"Tidak."

"Argh, sebenarnya selama ini yang selalu memulai pertengkaran adalah dirimu, Steph!"

Wow, dia naik pitam. Gadis batinku tersenyum menampakkan gigi kelincinya secara usil. "Sungguh? Kurasa bukan jadi hal baru."

"Siapa Bryan?" suaranya menjadi tegas nan dalam, membuatku menelan saliva gugup. Aku hanya memandanginya sampai ia bersuara kembali mengulangi pertanyaannya. "Siapa Bryan?"

"Apa pedulimu?"

"Jawab aku."

"Sejak kapan kamu peduli? Sejak kapan kamu peduli dengan siapa aku bergaul?!"

"Steph, jawab aku," tegasnya sekali lagi.

"Sejak kapan kamu peduli padaku, huh?!"

"AKU SUAMIMU!"

Mataku mengerjap berkali-kali mendengar sentakannya. Ini dia, ini, kita bertengkar kembali. Matanya melotot ke arahku dan begitu sebaliknya. Aku berani karena aku tidak ingin dilecehkan meski urat-urat di lehernya sudah terekspos jelas ditemani dengan merah wajahnya. Dan aku benci jantung yang berdebar untuk beberapa menit ke depan.

"Oh, ya? Dan aku istrimu, ingat? Lalu bagaimana jika kamu tidak menjawab pertanyaanku siapa itu Camille dan aku membiarkanmu begitu saja. Aku berjuang mencari tahu sendiri hingga pada akhirnya aku paham siapa dia—siapa Camille bagimu. Dan sebelum kita menikah, bahkan aku tidak pernah mengungkit Tess Ward di telingamu. Bagaimana? Apakah kamu masih berhak mengetahui siapa itu Bryan?!"

Dia menganga lebar, menatapku, lalu melarikan jari-jarinya guna menyisir rambutnya dan berdiri dilanjutkan berjalan mondar-mandir layaknya setrika di depanku. Sedangkan aku berusaha mencoba untuk menstabilkan napas.

Tak lama setelah itu dia tergelak, "aku paham. Aku paham siapa Bryan—siapa Bryan bagimu."

"Kamu bahkan tidak tahu siapa dia, jadi kamu tidak akan paham siapa dia—siapa dia bagiku."

"Ya, dia selingkuhan—"

"SELINGKUHAN? Serius, Harry?! Kami bahkan baru kembali bertemu kemarin!"

"Jangan bersikap bodoh, kamu tahu aku tidak suka wanita yang dekat denganku bertingkah seperti layaknya jalang."

Dengan emosi yang sudah mengepul di ubun-ubun, aku bangkit menghampirinya dan menamparnya keras-keras.

"Bisa-bisanya kamu mengataiku jalang. Lalu kamu sendiri apa? Jalang Pria?! Aku tidak mengerti, bahkan aku tidak pernah mencampuri hubungan gelapmu dengan pelacur itu—"

"DIA BUKAN PELACUR!"

"Jalang, tutup mulutmu! Aku belum selesai dan sayangnya aku tidak peduli. Sekali pelacur tetap palacur. Kamu tahu, seharusnya kamu tidak peduli. Kita memang sepasang suami-istri tapi kita bersama hanya karena sebuah desakan yang akhirnya menjadi ikatan keterpaksaan tanpa didasari dengan landasan. SEHARUSNYA KAMU TIDAK PEDULI, TIDAK PEDULI PADAKU!"

Aku memukul dadanya sekuat tenaga. Aku menangis. Aku hancur. Aku rapuh di saat seperti ini. Air mata bergelinang diiringi dengan desiran darah yang mengalir kencang juga aduan degup jantung yang hebat. Aku benci sensasi ini, menimbulkan nyeri luar-dalam yang kuat.

"Hentikan, jangan menangis. Aku benci mengakuinya tapi aku akan, bahwa aku peduli padamu. Mulai detik ini."

♡♡♡

maaf ya kalo gadapet feelnya bcos keknya emang gue gabisa bikin cerita yang baper deh :(
ada yang mau baca aja untung-untungan hehe makasih kalian semua 💕

btw wattpad emg gabisa publish sehari lebih dari 5 ya? kmrn aku coba prolog sampe chapter 4 doang, trs mau publish chapter 5 error mulu sampe uda gue log out juga. trs hari ini aku coba lagi baru bisa hehe

THE ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang