Semenjak pertengkaran itu, kami kembali seperti dulu; bicara seperlunya dan menunjukkan sisi buruk kami kepada publik; tidak ada sandiwara seperti biasanya. Aku tahu aku salah tapi dia jauh lebih salah dariku.
Pun jika pada akhirnya media tahu aku juga memilih untuk masa bodoh layaknya Harry. Ya, pasti mereka lebih menyalahkanku, sudahlah, tidak ada maling yang mau mengaku.
Cuaca pagi ini sangat cerah seperti suasana hati mereka berdua (Dove dan anaknya Michelle) yang sedang bermain bola karet di kamarnya. Sementara aku, bahkan aku tidak tahu bagaimana suasana hatiku; sedih, kecewa, senang, marah, lega, dan lain-lain. Semuanya bercampur jadi satu yang membuatku tersadar bahwa aku mendapati diriku sedang melamun di balkon kamar Dove. Dia adalah adikku.
Alih-alih melamun aku memilih untuk bergabung bersama mereka di atas karpet. Mungkin ini dapat mengalihkan pikiranku.
"Kalian masih tidak berbicara? Oh, tentu saja, aku memang bodoh! Bahkan semalam kamu pindah ke kamarku," kata Dove berhenti memainkan bola karet anaknya. "Keluarlah, perbaiki hubungan kalian. Buatkan dia teh dan yakinkan Ibu kalau kalian baik-baik saja."
Mataku panas seperti ada bawang di sekitar kami, menyebabkan benda cair dibaliknya mendesak ingin keluar. Aku memeluk Dove, "mengapa? Mengapa harus aku?"
Dia balas memelukku. "Oh, maafkan aku karena di saat itu aku sudah menikah."
Tidak, aku tidak menyalahkan Dove. Ini memang takdir, bukan begitu? "Aku bertemu Bryan."
"APA?!"
"Ya, Bryan," kataku. Sudah kuduga, pasti seperti ini reaksinya.
"Tapi bagaimana bisa? Kapan kalian bertemu? Kapan? Ceritakan padaku, Steph! Kemarin?" dia mengguncang bahuku histeris.
Astaga, aku ingin sekali tertawa setelah menangis dan selanjutnya aku benar-benar melakukannya. "Chill! Tidak, waktu itu di konser Harry. Dia dan adiknya berada di tempat parkir mobil kami—mobilnya—mobil Harry."
Dove diam terlihat sedang berpikir keras, lalu setelahnya dia berkata, "jangan berkata kamu akan memulainya?"
Mulutku mengeluarkan kekehan jahat, "we been knew, sis."
"Don't, please don't. Jangan pandang Harry, pandanglah Ibu. Aku yakin kamu akan bahagia setelah melewati semua ini. Gunakan aku sebagai contohnya. Frankie dan aku awalnya tidak saling mencintai, tapi sekarang? Michelle ada di sampingmu."
Aku melirik Michelle yang masih sibuk dengan bola-bolanya. Menghela napas, aku membawanya ke gendonganku. Dia tidak mengerti, tidak akan pernah mengerti.
"Stephanie—"
"Frank tidak pernah berselingkuh, bukan? Sedangkan dia..." kakiku berjalan keluar dari kamarnya, menuruni tangga menuju dapur, kurasa dia mengikuti. "...kamu tidak pernah merasakannya, Dove. Kami bersama hanya karena Ibu dan Ibunya. Tidak ada kata 'cinta' di antara kami."
Michelle kuletakkan di kursi makannya. Tanpa menghiraukan Dove aku membuat air panas untuk menyeduh teh juga untuk bubur Michelle serta membuat roti isi sebagai sarapan kami.
Sialan, aku benci suasana seperti ini.
Kulirik Dove membantuku menyiapkan bahan, sayur-mayur dikeluarkannya dari dalam kulkas. Betapa kurang ajarnya ketika dengan susah payah aku menenangkan Michelle setelah berpisah dari bola-bolanya namun Harry membuatnya menangis dalam hitungan detik sebab ia menciumnya.
Kulempar tomat merah segar dari tempat aku berdiri yang berhasil mengenai lengan kanannya. Ibu memarahiku di sepanjang jalannya menuju dapur, aku tidak memedulikannya tentu saja senyuman miring khas Harry juga.
"Eh, eh, cucu Oma menangis. Sshhh... paman dan bibi nakal, ya?" kata Ibu, sambil berusaha menenangkan Michelle di gendongan Dove. "Ini apa lagi? Kamu ya, tidak baik melempar-lempar apalagi yang kamu lempar adalah suamimu."
Persetan, aku menunjukkan wajah ingin muntahku. Harry menjulurkan lidahnya tanpa sepengetahuan Ibu. Benar-benar munafik. Sebenarnya apa julukan yang cocok untuk bedebah itu? Aku menghentakkan nafas keras-keras, tak habis pikir bahkan semua gelar julukan jelek sudah kuberikan, tapi mengapa aku belum dapat menemukan yang pas—yang teramat pantas untuknya.
Setelah semuanya siap, Dove membantuku menata hidangan sedemikian rupa di meja makan setelah membujuk Michelle agar mau bersama dengan Ibu yang sudah menunggu sedari tadi di sana bersama Harry. Sedangkan Frankie (adik iparku) dia lembur.
Suasana sarapan sangat berbeda jauh seperti biasanya. Hangat dan ceria. Aku suka. Mereka bertiga membuatnya jauh lebih sempurna. Ditemani oleh kicauan burung-burung yang khas di halaman belakang, semilir angin pagi, dan terkadang gonggongan Miley dari kandangnya. Ini sempurna, lebih sempurna lagi jika tidak ada Harry makhluk yang paling aku benci di dunia.
"Thomas mengunjungiku."
Aku terbatuk-batuk sambil memukuli dada, Harry dengan baik hati memberiku segelas air yang tidak sengaja siku kiriku meyenggolnya sehingga membuatnya tumpah, jatuh, dan pastinya pecah berkeping-keping. Persetan, aku mengambil segelas air yang tak jauh berada di tempatku tanpa mengetahui siapa pemiliknya lalu meminumnya terburu-buru.
"Apa? Untuk apa dia mengunjungi Ibu? Meminta uang?!" Mataku berganti menatap Dove yang diam mematung melihat amarahku, "kamu, kenapa tidak menceritakannya dari semalam?!"
"Steph, tenangkan dirimu. Kamu baru saja datang dan kami tidak ingin membuatmu terbebani akan Thomas lagi. Ibu yang melarangku."
"Tapi kalian tidak boleh menyembunyikan ini dariku!" tanpa sadar suaraku naik beberapa oktav. Aku takut. Aku benci. Aku menyesal. Kulayangkan pelukan pada Ibu sambil berucap maaf berkali-kali.
Dengan tekukan alisnya yang khas, Harry bertanya dengan serius, "siapa Thomas?"
Entahlah, bahkan mulutku sudah tak sanggup untuk memanggilnya Ayah.
"Oh, dia, aku ingat!" kata Harry memetikkan jari, "ada apa dia datang menemuimu, Ibu?"
"Seperti yang Stephanie katakan."
Aku berdecak, "Sudah kubilang, Ibu, jangan bukakan pintu untuknya, jangan terima panggilannya, hapus kontaknya jika bisa. Memangnya kita 'lemari besi tempat penyimpanan uang' pada masa tuanya?" gertakku kesal. Jika saja aku sanggup membunuh tua bangka itu maka aku akan.
"Sudah-sudah, lanjutkan makanmu. Kemarin mendesak, anak laki-lakinya sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit, bagaimana pun dia tetap Ayahmu dan anaknya adalah adikmu."
"Ibu selalu saja memberi jawaban yang sama. Ingat Bu, dimana dia saat kita membutuhkannya dulu? Pernakah Ibu merepotkannya? Tidak!"
"Stephanie, Ibu membayangkan bagaimana jika Ibu berada di posisinya? Anak Ibu sakit dan sangat membutuhkan uang," ujarnya semakin melembut. "Sudahlah, tidak ada gunanya mengungkit masa lalu selain akan membuatmu menjadi pendendam."
Oh, astaga, kata-katanya mengingatkanku pada Bryan. Dia selalu berbicara seperti itu di saat aku menceritakan kesalahan orang lain padanya. Aku merindukannya.
"Ibu benar. Cam-kan itu, Steph." ujar Harry tiba-tiba. Bedebah ini berulah lagi.
Lalu kami melanjutkan sarapan dengan sunyi.
♡♡♡
yauda lha ya, jan lupa vomment(s) luv !! <3

KAMU SEDANG MEMBACA
THE END
FanfictionAku bersamamu karena sebuah ikatan, bukan landasan. H ✎ 𝘰𝘯 𝘨𝘰𝘪𝘯𝘨 ... 「written in bahasa 」 Copyright ©2020 by 𝘁𝗮𝗸𝗶𝗻𝗴-𝗮𝗹𝗹𝘁𝗵𝗲𝗿𝗶𝘀𝗸