12 // shock therapy //

350 61 6
                                        

Minggu-minggu ini Harry memiliki banyak waktu longgar. Berbeda denganku yang disibukkan dengan persiapan bisnis baru. Mungkin kalau aku tidak berinovasi, kegiatanku hanya menggambar, menggambar, dan menggambar sepatu. Itu hal mengasikkan, tetapi Harry membuatnya tidak asik lagi.

Jika dipikir-pikir, pernikahanku dengannya terlihat hina sekali di mata Tuhan. Aku mendengus, sebenarnya apa yang aku pikirkan? Harry sudah berusaha sebaik mungkin untuk tidak naik pitam menghadapi sikap egoisku. Berbeda sekali dengan dulu. Dulu kami berdua adalah api yang sekarang berubah menjadi aku saja. Harry adalah air, sebisa mungkin merespon kemarahanku dengan kepala dingin. Tidak ada teriakan-teriakan, saling melempar barang, dan kata-kata kasar. Bukankah sangat menakjubkan?

Jujur, terkadang aku merenung, merasa bersalah seperti saat ini. Harry telah berusaha membuka hatinya untukku, tapi aku... jauh di dalam lubuk hati yang terdalam aku ingin melakukan hal serupa namun hanya saja aku takut terlena dan akan merasakan sakit hati.

Lagi-lagi aku mendengus, kesal akan diriku sendiri.

Aku berusaha fokus pada gambaran-gambaran bikini dan dalaman yang akan aku kirim pada Oliver—salah satu penjahitku. Menyeleksi mana yang terbaik. Karena tidak mungkin kami memproduksi banyak sekali design di masa produksi pertama, kami harus tahu respon konsumen terlebih dahulu. Kami juga memutuskan untuk menjual online, mereka dapat di pesan melalui website dan fakta mengatakan bahwa website untuk bisnis ini sudah siap membuatku tidak sabar untuk mulai promosi.

Ponselku baru saja bergetar, ada satu pesan singkat dari salah satu timku yang lain, memberi konfirmasi bahwa sewa tempat untuk kantor baruku sudah deal dan sedang dalam proses dekorasi. Aku memekik girang. Dia juga mengirimiku beberapa gambar design ruangan untuk aku pilih. Ini akan sangat menyenangkan.

"Kamu tidak ingin menyapa mereka?" Harry tiba-tiba datang. Bahkan aku tidak sadar akan suara pintu yang terbuka.

"Kalian sudah selesai?"

"Ya, mereka ada di ruang tengah. Ada apa kamu senyum-senyum sendiri?"

Tunggu, bahkan aku juga tidak menyadari fakta ini. Aku terlampau senang. "Coba tebak, aku sudah deal dengan penyewa dan kantorku sedang dalam proses dekorasi!"

"Sungguh? Aku turut senang."

Aku mengangguk, yakin masih dengan senyum yang belum luntur dari wajahku. "Ayo, kita bergabung bersama mereka."

Kakiku berjalan menghampiri Harry di ambang pintu dan tangannya langsung menyambar pundakku menciptakan sebuah rengkuhan bersahabat. Kami berjalan beriringan dan yakin kali ini bukan lagi rekayasa seperti biasanya.

Band-nya datang untuk latihan karena besok mereka akan tampil di BBC Radio. Harry memiliki ruangan khusus latihan di rumahnya, itulah sebab mengapa kami meninggalkan penthouse dan kembali ke rumah ini beberapa minggu lalu.

Setelah menuruni tangga, kami tidak menemukan mereka di ruang tengah. Harry menarikku menelusuri rumah ke arah dapur dan benar, mereka di sana dengan kesibukan masing-masing: Adam menunduk mencari sesuatu di dalam kulkas, Sarah dan Clare memakan cookies buatanku di toples yang aku letakkan di atas pantry, sedangkan Mitch hanya bertopang dagu duduk manis di kursi makan dengan air mineral yang tinggal setengah di hadapannya.

"Hai, apa kabar?" aku menyapa mereka semua.

Semuanya menoleh, "hey, kami baik dan lapar." kata Sarah terkikih. "Ini buatanmu 'kan?"

Aku mengangguk. "Ya, sudah lama. Apakah itu masih enak?"

"Masih, aku merindukan pie buah bikinanmu." jawab Clare, mencomot satu lagi cookies dari toples dalam pelukan Sarah.

THE ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang