Aku ingat betul saat awal menikah dengan Harry, ia selalu mengeluhkan rambutnya yang tak kunjung panjang. Dan aku selalu memperingati bahwa keputusannya memotong rambut membuat beberapa pihak bangga dan mencetak bakatnya. Tidak ada yang merasa dirugikan, begitu kataku.
Sekarang ia duduk manis di kursi meja rias dengan aku yang sedang mengeringkan rambutnya. Setidaknya, keberadaan Anne dan Gemma di rumah tidak membuat keadaan bertambah canggung mengingat perdebatanku dengan Harry kemarin siang. Sandiwara kami jadi ikut terseret, meski tidak di hadapan mereka berdua. Kemungkinan Harry akan mengijinkanku pergi.
"Sudah panjang, Harry." kataku.
Ia menggendikkan bahunya, terlihat tidak tertarik pada percakapan yang aku buat. "Ya?"
"Apakah kamu berniat membuatnya panjang kembali?" kali ini aku menuangkan beberapa tetes vitamin rambut pada telapak tangan kemudian mengoleskan ke kepalanya. Aku suka baunya, dan terkadang juga memakainya jika bosan dengan milikku sendiri.
"Apa itu yang kamu inginkan?"
Bisa jadi. Bagaimana pun rambut panjangnya menjadi kesaksian drama yang orang tua kami buat. "That would be great. Tapi, tidak, lakukan sesukamu."
"Akan dipertimbangkan." katanya, ia memberiku sisir begitu tahu aku akan selesai. "Lalu, apa ada hal lain yang harus dipertimbangkan dari penampilanku? Aku bisa berdiskusi dengan Lambert."
"Kamu tahu, kamu terlihat lebih dewasa dengan kumis tipis. Mungkin menurutmu kurang rapi tapi, entahlah? Aku suka."
Sebenarnya aku tidak tahu apa yang akan aku katakan-lebih tepatnya malu mengakuinya. Dan sekarang Harry sedang memperhatikanku dari pantulan cermin di depan kami. Lantas, pura-pura tidak tahu adalah pilihan terbaik. Cemas jika ia akan mengetahui maksud tersembunyi dari perkataanku.
"Stephanie, lihat aku." katanya pelan, terdengar mengintimidasi. "Ah, aku tahu." tiba-tiba ia menyeringai membuatku gelagapan.
"Apa?" sial. Seharusnya aku tidak perlu menaikkan suara.
"Wajahmu merah."
Oh? Mengacuhkannya, aku kembali menyisiri rambutnya. Tidak ingin semakin menciut ketahuan kalah adu mulut dengannya.
Beberapa bulan yang lalu rutinitas seperti ini sudah menjadi kebiasaanku. Berawal dari rambut berantakan miliknya yang mengganggu pemandangan. Aku ingat pertama kali melakukannya di rumahku-yang artinya termasuk dalam bagian sandiwara lalu menjadi kebiasaan.
Mungkin kedepannya memang ini yang harus aku lakukan. Berpura-pura tidak tahu memang nyaman, lebih nyaman lagi jika benar-benar tidak tahu. Tetapi sampai kapan aku akan berlindung di zona aman yang menyiksa? Dan untuk apa aku melakukannya? Mempertahankan sebuah hubungan? Oh, tentu. Kukira tujuan itu yang kami rencanakan dari awal. Dan lihat, siapa satu-satunya pecundang tidak tahu diri yang berhasil jatuh?
Aku.
Miris sekali. Dan parahnya lagi, aku tidak tahu sejak kapan aku mau mengakui perasaanku. Sungguh memalukan.
"Kamu seperti banyak pikiran." katanya.
Hanya ada dirimu di pikiranku. "Sudah. Aku akan bersiap ke kantor." kataku menghiraukan ucapannya.
Harry menghela napas, "mungkin belum saatnya kamu terbuka padaku."
"Ya, kamu juga."
"Maksudmu?"
Giliran aku yang menghela napas. Sebetulnya dia pura-pura bodoh atau memang bodoh? "Bolehkah aku membawa mobil sendiri?"
"Untuk?"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE END
FanfictionAku bersamamu karena sebuah ikatan, bukan landasan. H ✎ 𝘰𝘯 𝘨𝘰𝘪𝘯𝘨 ... 「written in bahasa 」 Copyright ©2020 by 𝘁𝗮𝗸𝗶𝗻𝗴-𝗮𝗹𝗹𝘁𝗵𝗲𝗿𝗶𝘀𝗸