25 // we tired //

341 41 64
                                    

Tidak ada yang menarik dari pemandangan balkon kamar. Ia tidak menyuguhkan pelabuhan yang dipenuhi kapal-kapal seperti Marseille ataupun menara Eiffel yang menjulang indah di tengah Paris. Hanya ada kolam renang yang jarang sekali dipakai. Hanya Michelle yang sering menceburkan kakinya di pinggiran kolam bersama orang tuanya jika sedang rewel.

Dan benar, semenit kemudian Frankie datang membawa mangkok berisi sarapan Michelle. Pria itu menyuapi anaknya sambil bermain air. Aku menarik kursi mendekat, duduk memperhatikan mereka dari atas sini seperti yang telah aku lakukan setiap hari selama dua minggu terakhir. Meski itu bukanlah pilihan bagus, tetapi ini yang mengisi hari-hariku.

Dove biasa mengantar sarapanku. Bahkan untuk turun bergabung bersama mereka di meja makan aku enggan. Kehidupan tidak semudah membaca novel yang dapat langsung mengetahui akhir dari kisahnya di halaman terakhir. Lalu lanjut membacanya atau tidak adalah sebuah pilihan.

Namun, untuk kehidupan itu bukanlah sebuah pilihan, aku harus mengikuti alur ceritanya meskipun enggan dan menerka bagaimana akhir dari kisahku.

Harry... apa dia mencoba menghubungiku aku tidak ingin tahu.
Angin pagi dingin yang menggigit akan selalu mengingatkanku pada ketidakadilan di malam itu. Aku kasihan pada bayi di dalam perutku. Harry seperti menikah karena sebuah keharusan. Tapi cinta dan bayi tidak akan pernah ada dalam rencananya.

Ia tetap membuatnya seperti kesepakatan meski aku sudah memberikan hatiku padanya. Cinta sialan. Aku melihat akibat cinta pada Ibuku. Lalu bagaimana aku dengan gampang hati mencintai Harry?

"Hey..."

Aku terjingkat menoleh ke asal suara. "Gemma?"

"Aku datang larut malam tadi." katanya tersenyum.

Anne memang sudah menginap dari beberapa waktu lalu. Tapi kemunculan Gemma sangat di luar dugaan. Maksudnya, untuk apa dia kemari?

"Selamat datang kalau begitu." sambutku.

Kurasa aku harus menghilangkan kebiasaan tidak mengunci pintu kamar supaya orang asing tidak sembarangan masuk.

"Terima kasih. Harry baru saja datang." katanya yang tidak ingin kudengar. "Bocah itu sedang disidang oleh Ibumu dan Ibuku. Dan aku sepertinya menjadi orang terakhir yang tahu tentang kamu mengandung calon keponakanku, benar?"

"Entah?"

Konsernya masih lima hari lagi, ingatku. Aku tidak bisa fokus pada percakapan yang Gemma buat mengetahui Harry berada satu atap denganku. Sial. Ibuku bisa-bisa kolapse.

Beliau menjadi orang yang paling marah ketika mengetahui aku diperlakukan tidak layak sebagai istri. Seharusnya Ibu mendengarkanku dari awal.

"Steph, kamu mendengarku?" Gemma menyenggol lenganku pelan.

"Tidak." kataku bangkit dari kursi, hendak masuk ke dalam kamar. "Maaf."

Terdengar helaan napas pasrah. Aku memang merasa sangat menyebalkan semenjak kejadian malam itu. "Ayo kita turun."

Giliran aku yang menghela napas. "Untuk apa? Menemuinya? Tidak."

Wajah tanpa dosa serta kata maaf tak berarti masih terngiang di kepala. Menghantui hari-hariku. Seluruh organ tubuhku tidak dapat mengelak bahwa hal tersebut menyakitkan. Aku banyak menangis di kamar.

Gemma menatapku prihatin. "Aku sedih melihat kalian seperti ini. Mengapa kamu tidak membalas pesan atau menjawab telepon dari kami?"

"Aku lupa dimana aku meletakkan ponselku."

Ia terkikih. "Kamu sengaja. Ya, sudah, ayo kita sarapan. Dove tidak akan mengantar sarapanmu."

"Kalian semua sudah merencanakannya." kataku murung.

THE ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang