Menyeka air mataku untuk terakhir kalinya, aku memantapkan hati untuk mengajak Anne pulang. "Mom, ayo."
Ia masih menangis meski tidak tersedu-sedu. Air matanya dengan pasti mengalir teratur seiring kesedihan dan perasaan kehilangan kembali menjalarinya. Rasa asing yang mantap menyakitkan.
Robin adalah pria yang baik. Sebagai ayah untuk Harry, Gemma, dan anak-anaknya. Sebagai teman untuk semua orang. Dan sebagai suami untuk Anne. Pria hangat serta humoris itu meninggalkan kami begitu cepat, kurang lebih 3 bulan yang lalu membuatku tidak memiliki kesempatan untuk mengenalnya lebih dalam. Semuanya terpukul. Kenyataan berat yang terpaksa harus diterima.
Sekali lagi, aku mengingat derita itu. Tangis serta guratan emosional memenuhi sekitaranku. Jelas posisi Harry lebih berat dari pada diriku saat itu. Sekarang aku kembali merasa bersalah padanya. Seharusnya aku memperlakukannya lebih baik.
Bahu Anne berhenti bergetar. Tandanya dia sudah siap meninggalkan tempat ini. Kami bertatapan kemudian memaksakan sebuah senyuman lalu bangkit setelah mengucapkan selamat tinggal pada Robin.
"Dia sudah tidak merasa kesakitan lagi." kata Anne.
Mataku kembali panas mendengarnya. Seiring langkah kami menuju tempat parkir air mata masih senantiasa menghiasi wajah cantik Anne. Aku merengkuh bahunya sambil berusaha menghiburnya. "Benar. Tapi Dad akan sedih melihat Mom yang terus-terusan menangis. Ayo, senyum!"
Ia terkikih. "Kamu juga menangis."
Kikihan tersebut menular padaku. Selanjutnya kami sama-sama tersenyum lagi tanpa sadar dan saling menguatkan. Kali ini aku yang menyetir. Tujuan kami selanjutnya ialah mengunjungi Amy (anak tiri Anne dari Robin) kendati perjalanan tidak perlu memakan waktu yang lama sebab kami memulainya dari makam Robin.
"Aku tersenyum sekarang." elakku.
Anne tiba-tiba merangkulku dari samping, "ada yang pergi, ada yang datang."
"Maksudnya?"
"Kamu datang di keluarga kami. Aku senang."
Oh. "Aku juga." jawabku.
Walau sebenarnya tidak ada yang yakin. Aku terbiasa hanya dengan Ibu dan adikku namun tiba-tiba aku memiliki kakak juga mertua dan suami. Semuanya begitu mendadak tanpa bisa dinalar.
Suasana seketika menjadi canggung. Tidak ada yang berbicara lagi, hanya deru mesin mobil yang terdengar. Jalanan sangat sepi. Chesire siang hari memang sudah terbiasa seperti itu. Daerah yang begitu damai.
Salah satu yang membuatku tertarik ialah bangunan khas-nya yang jelas terlihat sangat kental oleh sejarah. Pusat perbelanjaan dominan berwarna hitam-putih menjadi ikon. Sisanya berwarna netral. Masih sempat memperhatikan sekeliling, laju mobil kukurangi kecepatannya untuk berjaga-jaga. Hidup di daerah yang bukan metropolitan sempat aku dambakan. Dalam benak mungkin aku akan memelihara kuda dan berkebun bersama Ibu di belakang rumah begitu mengasyikan rasanya.
Aku tidak hafal jalan di sini, namun aku juga merupakan pengingat yang kuat. Sejauh ini Anne tidak berkomentar jika aku mengambil arah yang salah. Jadi kuputuskan untuk diam, hatiku masih dapat merasakan guncangan batinnya—serta guncangan yang kembali menyerang perutku secara tiba-tiba.
Gejolak tidak asing yang sangat mengganggu konsentrasi menyetirku. Aku mual, lagi.
"Stephanie, maafkan aku." kata Anne. "Aku tahu. Aku tahu semuanya."
Tentu dia tahu. Meski diriku tidak yakin ia membicarakan Harry tetapi perasaanku berkata 'ya'. Lantaran bingung akan menjawab apa, aku hanya bertanya apa maksud dari permintaan maafnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE END
FanficAku bersamamu karena sebuah ikatan, bukan landasan. H ✎ 𝘰𝘯 𝘨𝘰𝘪𝘯𝘨 ... 「written in bahasa 」 Copyright ©2020 by 𝘁𝗮𝗸𝗶𝗻𝗴-𝗮𝗹𝗹𝘁𝗵𝗲𝗿𝗶𝘀𝗸