23 // the night //

446 57 26
                                    

Semenjak rumor perselingkuhan yang tersebar luas dan kian memanas, Harry tidak berusaha menghubungiku. Bayangkan saja sudah berapa lama. Mataku memanas mengingatnya. Buku-buku jariku terkepal sempurna siap untuk menghajarnya jika bertemu nanti. Ada percikan api yang siap berkobar demi malaikat kecil di dalam perutku.

Walaupun jika ia tidak menginginkannya, aku akan tetap membesarkannya dengan atau tidak bersama Harry. Sebenarnya apa keinginan pria itu? Semuanya terlalu rumit. Begitu banyak kesempatan yang ia tawarkan untuk membenahi segalanya, lalu tiba-tiba ia menghilang begitu saja.

Tidak ada yang tahu siapa yang benar-benar bersalah. Akankah diriku yang menyia-nyiakan kesempatan tersebut kendati terlalu banyak berpikir lalu mengubah pikiran Harry? Atau Harry yang tidak sabar menunggu kemudian memilih jalan tercepat, yaitu mencari wanita yang mampu menerimanya, yang memberikan segalanya pada Harry.

Namun, separuh dugaan menyangkal hal itu. Harry memang tidak menginginkanku dari awal dan aku gegabah menaruh hati—terbuai mendengar janji manis dari mulutnya. Mau tidak mau semuanya berubah.

"Hey, kamu tak apa?"

Kepalaku menoleh mendapati Dove dari pantulan cermin. Aku mengangguk kemudian bangkit, tidak sabaran menanti sebuah malam keputusan. Akhir yang ditetapkannya.

Dove dan aku baru saja tiba di New York sekitar lima jam lalu. Kami membobol apartemen Harry. Tidak mendapati siapa pun di segala penjuru. Tentu. Keheningan cukup menjelaskan sebuah rumah yang memang tidak pernah menyambutku hangat.

Michelle dititipkan pada Ibu Frankie sedangkan Anne menjaga Ibuku. Ia sepenuhnya mendukung rencanaku, berharap cemas akan berjalan seperti apa yang ia inginkan. Aku tersenyum kecut.

Dove berusaha mati-matian memberi semangat agar aku berhenti menangis. Kami dalam perjalanan menuju Radio City Music Hall di daerah Rockefeller Center. Lumayan dekat dari apartemen Harry di Greenwich. 20 menit kemudian kami sampai.

Malam ini area luar bisa dibilang lebih ramai untuk takaran kota New York. Mungkin konser sudah dimulai dari setengah jam yang lalu. Seluruhnya sudah direncanakan, kami sengaja datang terlambat. Akses masuk sepenuhnya ada padaku.

Mataku menemukan sosok wanita pirang mengenakan masker sedang melambai-lambai ke arah taxi kami berhenti di 6th Avenue ujung 50th Street. Kami menghampirinya tak lupa mengenakan penutup muka juga. Itu Stella.

"Dia banyak menangis hari ini, menjengkelkan." keluh Dove. Siapa lagi jika bukan ia tujukan padaku.

"Menangislah sepuasmu sekarang. Nanti jangan menangis di hadapannya." kata Stella. "Jangan terlihat lemah."

Rasa gugup mulai merasukiku, "apa aku siap?" kataku meremas jemarinya.

"Tenang, kami tidak akan membiarkanmu melewati ini sendirian. Apapun yang terjadi nanti, ingat kamu tidak sendiri."

Dadaku terenyuh merasakan kehangatan yang menjalar mendengar perkataan mereka. Memberi rasa aman. Aku tidak sendiri. Aku pasti bisa menghadapinya.

Tanpa banyak bicara, kami berlenggang masuk beberapa kali dihadang oleh penjaga meski aku sudah memberi kartu identitasku. Mereka masih tidak percaya hingga aku beberapa kali membuka ikatan bandana yang menutupi setengah wajahku, baru mereka diam tidak berkutik. Seketika menyadari nama belakang serta status yang diberikan Harry ternyata memiliki pengaruh besar.

Salah satu kru mengantar kami menuju venue menempati kursi paling ujung tetapi tidak terlalu di belakang. Hanya tersisa 2 kursi. Kami tidak buru-buru mendekatinya setelah kru tadi menghilang. Beberapa meter dari tempat kami berdiri, aku dapat melihat pintu belakang panggung tetapi harus melewati kerumunan terlebih dahulu.

THE ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang