27 // the truth //

250 35 20
                                    

Aku ingat pernah memiliki percikan api yang siap berkobar demi bayi kecil yang aku kandung. Keadilan yang hampir saja ditegakkan di suatu malam, direnggut oleh sebuah realita pahit. Aku melihatnya, inti dari permasalahanku dengan Harry. Kemudian merasa marah dan lemah di saat bersamaan.

Nyeri kembali menjalari sel-sel tubuhku. Aku bergerak perlahan merasakan silau cahaya yang mulai menyerang mata. Seketika tersadar kejadian tadi malam, persis sebelum aku tidur. Apa aku memaafkannya? Kurasa aku sedang tidak dalam pengaruh alkohol. Tapi bagaimana bisa?

Sial. Perasaan ragu itu datang lagi. Mataku terbuka cepat. Semalam aku berharap tidak membuat pilihan yang salah, begitu pun sekarang. Penglihatanku menjelajahi ruangan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitaran. Di mana dia?

Belum sempat mengira-ngira ke mana Harry pergi, Thomas serta bayiku kembali menghantui pikiran. Aku menghela napas, sangat sedih. Lalu memilih untuk menggosok gigi ketimbang mengasihani nasib. Sepanjang langkahku menuju kamar mandi, Ibu dan orang-orang juga ikut bermunculan di kepala. Mereka sudah lengkap, aku sepenuhnya sadar dari tidurku setelah membasuh wajah.

Aku tidak mau berlama-lama menatap pantulan wajahku di cermin karena mengerikan, sungguh. Cocok disandarkan dengan segudang masalah yang menemaninya di pundak. Lagi, aku menghela napas sambil berjalan keluar.

"Pagi."

Aku terlonjak. Harry tiba-tiba sudah duduk di tepi ranjang saat aku kembali ke kamar. "Dari mana kamu?" tanyaku.

"Mencari... pembalut dan tampon untukmu?" katanya terdengar malu serta canggung.

"Sangat manis." singgungku tidak berniat memuji. "Ada sarapan?"

"Sebenarnya ada orang yang ingin menemuimu di ruang tamu."

"Jangan bilang Thomas." tebakku tidak minat. Dan bungkamnya mulut Harry membuatku yakin jika aku benar. Aku mengerang. "Ayolah..."

Ini masih pagi. Dia sangat mahir membuatku kesal. Harry memang tidak pernah kapok.

"Kumohon?"

"Jika ini yang kamu maksud membenahi segalanya, asal kamu tahu, memperbaiki hubunganku dengan Thomas bukan dalam porsimu. Persetan dengan kalian."

Ia tersenyum tipis kemudian berdiri menghampiriku dan tanpa diduga merengkuhku dalam sebuah pelukan. "Kasar sekali." ujarnya mengusap kepalaku.

"Inilah aku. Tidak sepertimu yang halus tapi menusuk dari belakang."

"Kumohon sebelum kamu menyesal, Steph. Aku menyesal, dan tidak ingin kamu mengalaminya."

Perkataannya seakan mantra yang mematuk hati. Separuhnya benar namun sisanya... membuatku bergeming akan perasaan yang baru saja menguasaiku. Bukan begini yang aku inginkan. Aku tetap ingin sinis namun kali ini harus lebih berusaha.

"Baiklah."

Harry melepaskan pelukannya. Ia menaruh telapaknya di kedua lenganku, "aku bangga padamu."

Begitu katanya, sebelum aku berbalik ragu dengan jantung berdebar menuju ruang tamu kamar hotel ini. Thomas mungkin mendengar setengah atau lebih dari percakapan kami. Siapa peduli? Perbatasan kamar dan ruang tamu terlihat sangat jauh. Pikiranku mulai murung, membayangkan apa yang akan terjadi di antara kami berdua.

"Bonjour." sapanya begitu aku sampai di ujung ruangan.

Napasku tersekat sesaat. Memandanginya dari kejauhan. Ia memakai kaos oblong biru serta jeans gelap. Sejenak berpikir akan sosok itu. Aku tidak memikirkan tentang seberapa banyak perubahan pada dirinya karena sama sekali tidak ingat apapun. Tetapi senyumnya, mampu menggetarkan dadaku untuk terisak.

THE ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang