Cincin itu berputar di udara, melayang, hingga berdenting menghantam dinding. Nyaringnya memenuhi kekosongan ruangan ini selama seperkian detik kemudian berakhir tersungkur di lantai.
Pundak keduanya terangkat, jelas terkejut. Mimik mereka menggambarkan segalanya. Dan aku sempat mendengar pekikan Bryan dan Jenna yang tertahan. Seolah tidak menyangka aku mampu melakukannya.
Jauh di dalam lubuk hati aku berharap ada sedikit rasa menyesal namun itu mustahil ketika aku melihat perempuan di samping Harry. Napasku naik-turun menatap mereka bergantian. Membiarkan emosi menguasai akal sehatku. Tidak habis pikir dari mana rasa percaya diri yang dia dapatkan sehingga berani menampakkan wajah di hadapanku.
Harry membungkuk mengambil cincin berlian sebesar empat karat tadi. Cincin yang sempurna. Namun sayang tidak bermakna. Ia memandanginya sebentar lalu menghampiriku.
"Berhenti." bentakku.
"Steph-"
"Aku tidak sudi kamu menyebut namaku lagi." kataku menyela. Tubuhku bergetar hebat saat mengucapkannya. "Aku benar-benar muak."
Ia menggeleng tidak percaya, menatapku seakan tidak mengenaliku. Panik. Jika ada titik terlemah dalam hidupku maka itu adalah sekarang. Ketika sadar aku bersedia dihancurkan dengan suka rela. Berjuang mati-matian mempertahankan sebuah rumah tangga yang lantas selalu berakhir dengan penyesalan.
Enam bulan bersamanya tidaklah beda dari berada di neraka. Dia lah sumber penderitaanku dan alasan dari setiap tangisku. Konyolnya, aku masih sempat banyak menuntut karena berharap Harry mampu memenuhi apa yang aku minta.
Kemarin ia bilang mereka sudah usai. Tapi sekarang apa yang ada di hadapanku? Masih terjadi sesuatu di antara mereka. Tidak peduli seberapa besar mereka mengelak. Bagian terburuknya, bagaimana bisa aku dapat menelan mentah-mentah penjelasannya? Benar-benar bodoh.
Diam-diam aku menggigit lidahku menahan sebuah isakan. Wanita sialan, batinku murka. Mereka berdua sama saja. Entah apa yang aku mimpikan semalam, kejadian macam ini sama sekali tidak pernah ada dalam angan-anganku.
Lantas aku bangkit tanpa memikirkan tujuan. Sebisa mungkin tidak menatap Camille. Sebelum tanganku meraih gagang pintu, Harry berhasil menyentuh pergelanganku. Aku mengenyahkannya cepat namun dia tidak kalah cepat dengan menggapainya kembali, kemudian mencengkram kedua lenganku.
"Lepas!" Aku memberontak.
"Dengarkan aku," tegasnya, semakin mengunci pergerakanku. "Kamu salah paham."
Sekonyong-konyong kekuatan menguap dari dalam diriku. Akhir yang sama, pikirku sedih. Ini bukanlah perbincangan yang akan berakhir bahagia. Lantas aku menarik napas panjang, memejamkan mata dan berkata, "Sebelum aku pergi, aku ingin mengatakan jika aku membencimu. Sangat-sangat membencimu. Aku muak melihat wajahmu. Aku muak mendengar namamu. Aku benci segala hal tentang dirimu. Aku benci kamu! Aku benci kalian!" Nyeri menjalari nadi seiring amarah mengaliri darahku ketika meneriakkannya. Aku menjerit. Tubuhku menggeliat berusaha terlepas dari cengkramannya, tetapi sia-sia. Dia lebih kuat. Aku makin terisak. "Lepaskan..." ringisku.
Harry mengambil kesempatan saat diriku lengah. Memelukku erat. Memohon dan memberi alasan yang sama di setiap pertengkaran kami jika ini tidak seperti yang aku pikirkan.
Memangnya siapa yang dia bohongi? Cara itu tidak akan lagi bisa mengelabuhiku.
"Memohon di hadapan mereka tidak akan mengubah keputusanku."
"Lihat aku, Stephanie. Lihat aku." Ia menangkup wajahku tergesa setelah menghapus basah di pipiku. Mata hijaunya juga berair. Aku menatapnya getir. Terakhir kali aku melihatnya seperti ini ia berdusta.
"Aku bersumpah ini tidak seperti yang terlihat."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE END
FanfictionAku bersamamu karena sebuah ikatan, bukan landasan. H ✎ 𝘰𝘯 𝘨𝘰𝘪𝘯𝘨 ... 「written in bahasa 」 Copyright ©2020 by 𝘁𝗮𝗸𝗶𝗻𝗴-𝗮𝗹𝗹𝘁𝗵𝗲𝗿𝗶𝘀𝗸