Di pagi harinya aku terbangun dengan kondisi buruk. Masih dengan trousers yang sama, black top yang sama, dan juga sneakers yang sama. Diam-diam aku bersyukur dalam hati, betapa beruntungnya diriku masih terbangun dalam keadaan lengkap kendati aku tidak tahu siapa yang menggendongku hingga ke kamarku. Kulihat Harry tidur di tempatnya, sofa. Bedanya sudah tidak ada kemeja yang melekat di tubuhnya.
Aku beranjak dari ranjang menuju lantai dasar, tapi aku kembali lagi ke kamar saat teringat belum ada persiapan untuk kembali ke London. Ah, aku rindu Perancis—rindu segala yang ada di sana. Ibu, adik, saudara, juga semua kenangan. Kuharap mereka baik-baik saja, meski aku harus terus berlagak seolah tidak ada apa-apa antara Harry dan aku. Sialan, nasib ini buruk sekali.
Setelah mengemas barangku dan barangnya yang sekiranya perlu untuk beberapa hari ke depan, aku menempatkan diriku dibalik pintu lemari yang terbuka guna mengambil kesempatan saat Harry tidur. Biasanya diriku diharuskan untuk menanggalkan pakaian di kamar mandi. Gila, aku masih suci dan masih belum mau ternodai meski oleh dia yang notabenenya adalah suamiku sendiri.
Mengintip ke arah sofa, ternyata keadaan aman. Bahkan monyet besar itu masih mendengkur keras layaknya radio yang selalu hadir di jam sarapan. Jadi, aku masuk ke dalam kamar mandi tanpa khawatir diintipnya.
Tidak dapat dipungkiri, dalam benak diriku selalu bertanya-tanya sampai kapan aku harus seperti ini? Di lain sisi, aku ingin Ibu cepat pulih (dia mengidap leukimia akut), tapi aku juga ingin berpisah dengan Harry. Dan satu-satunya jalan agar kita dapat berpisah adalah—nanti—kepergian Ibu kelak. Ah, persetan, sekarang aku hanya dapat berdoa bumi yang sedang aku injak terbelah dan menelanku hidup-hidup.
Apakah salah jika berharap demikian?
Jujur, dulu aku adalah seorang fangirl. Tapi aku bukan fans Harry ataupun bandnya yang sedang hiatus. Aku lebih suka dengan model-model muda seperti Will Peltz contohnya. Bahkan aku masih ingat, saat itu aku dan teman-teman sekolah menengah sedang berdesak-desakan demi mengantri foto bersama Adriana Lima di depan hotel yang disinggahinya untuk sementara waktu. Aku belum terkenal saat itu. Mengingatnya membuatku kegelian sendiri jadi aku mempercepat ritualku dan segera mengenakan pakaian yang pas.
Harry tidak memberi tahu kapan pesawatnya akan terbang, jangan terheran jika melihatku sangat santai, toh uangnya sangat banyak dan dia bisa kapan saja membatalkan rencana penerbangan lalu membeli tiket lagi secara berulang-ulang. Ini juga bukan perjalanan bisnis bersama timnya. Hanya aku dan Robert yang ikut.
"Tidak ada sarapan pagi?" katanya begitu aku berhasil menampakkan diri kembali ke kamar.
Sejak kapan ada sarapan siang, sarapan sore, ataupun sarapan malam? "Kamu 'kan kaya, sarapan saja di bandara." jawabku menyalakan mesin pengering rambut, mengarahkannya pada rambutku yang kuyup.
"Dasar kampungan, kenapa kamu belum dapat menerima fakta bahwa suamimu adalah seorang superstar?!"
Aku menaikkan alisku tergelak jijik akan ucapannya. "Adakah yang harus kupedulikan dari ucapanmu barusan?"
"Cabe."
"Telingaku mendengarmu, Keriting."
"Dengar, dua jam lagi kita akan berangkat. Tapi batal setelah kau menghancurkan sarapan pagiku. Setengah jam lagi kita berangkat."
Honestly, I really don't care.
♡♡♡
Semoga banyak yang stay di cerita ini ya :(
btw stay safe kalian!
KAMU SEDANG MEMBACA
THE END
FanfictionAku bersamamu karena sebuah ikatan, bukan landasan. H ✎ 𝘰𝘯 𝘨𝘰𝘪𝘯𝘨 ... 「written in bahasa 」 Copyright ©2020 by 𝘁𝗮𝗸𝗶𝗻𝗴-𝗮𝗹𝗹𝘁𝗵𝗲𝗿𝗶𝘀𝗸