Mungkin aku sedikit setuju dengan pendapat Harry. Mungkin. Aku belum mau mengakui di hadapannya, tapi mengapa tidak dicoba?
Hanya saja, ada satu titik dimana aku sangat takut. Maksudku, aku sudah berpengalaman dalam mempercayai ucapannya. Harry bukan tipikal pria yang dapat dipercaya dan pria yang sangat gampang membuat janji lalu melupakannya begitu saja. Setidaknya itu yang aku lihat dan rasakan semenjak hidup bersamanya.
Sehabis sarapan dan insiden di kamar tadi, aku dan Harry pergi ke panti asuhan yang jaraknya tidak jauh dari rumah Ibuku. Sebuah rutinitas, setidaknya sebulan atau dua bulan sekali kami datang berkunjung dan memberikan baju yang layak pakai. Tunggu, kami? Dalam tanda kutip hanya aku saja sebelumnya dan Harry turut andil semenjak menjadi suamiku. Kemudian media menyorot itu semua adalah kebaikan Harry. Gadis batinku tergelak ironi.
Di sana kami bertemu Marry—si pemilik panti asuhan—untuk berbincang sebentar dan tak jarang juga aku bermain dengan anak-anak asuhnya. Mereka sangat menggemaskan, selalu memprotes jika aku telat berkunjung dan tidak membawakan mereka permen coklat kesukaan mereka yang aku beli di Lindt.
Harry memperhatikanku dalam diam. Aku tahu itu dan tetap memilih untuk mengacuhkannya setelah insiden tadi. Dia terdengar tulus tetapi sekali lagi, aku belum dapat mempercayainya.
Setelah itu kami pergi ke salah satu restoran lokal, membeli makan siang untuk orang rumah dan pulang. Perjalanan tetap diisi dengan nyanyian Brice Conrad berjudul "Oh la" yang diputar berulang kali. Lagu Perancis favoritku.
"Stephanie,"
Akhirnya dia menyerah dan mengajakku berbicara terlebih dahulu. "Ya?"
"It's been 4 months."
Aku menoleh mendapati wajahnya yang masih fokus menyetir dengan kecepatan sedang, tahu jelas apa maksud ucapannya. "Then?"
"Jujur, aku sungkan akan topik pembicaraanku."
Suasana seketika menjadi tegang. Senandung Brice Conrad sungguh tidak membantu. Apa dia akan membicarakan perceraian karena aku tidak memberinya jawaban yang pasti? Tetapi Ibuku masih hidup, dia tidak boleh melakukan ini meskipun aku juga sangat ingin. Apa jadinya Ibu jika ia mendengar berita perceraianku dan Harry melalui media? Karena tidak mungkin aku meminta izinnya untuk bercerai. Bisa-bisa Ibu sekarat.
"Steph, mengapa kamu diam?"
Aku tersentak, mendapati diriku yang melamun. "K-kamu, apa kau ingin kita-"
"Bercerai? Iya? Apa itu yang kamu pikirkan?"
"Ya?"
Harry terkikih. "Bukan." Ia meraih tangan kananku yang menganggur dipangkuanku. "Aku tahu Ibuku selalu mendesakmu dengan pertanyaan, kamu tahu... ehm, anak. Dan jujur, ia selalu menghujaniku dengan pertanyaan itu. Dan apakah kamu juga tahu? Dia memang curiga jika kita hanya berakting."
Aku menarik tanganku menjauh dari miliknya, menepisnya. "Itu semua salahmu. Kamu masih saja mengencani Camille. Apa karena itu Ibumu menjodohkanmu denganku karena ia bisa saja berpikir bahwa kamu mempunyai selera wanita Perancis?"
Jelas saja, ia hanya diam tak berkutik. Harry terlalu muda untuk Camille. "Saat kita bertengkar di London, kamu membelanya. Memang ada wanita baik-baik yang tetap mau menjalin sebuah hubungan dengan pria ber-istri? Kita memang tidak seperti suami-istri yang normal, tapi 'kan media melihat kita sebagai pasangan yang normal, Harry. Seharusnya kamu sendiri yang mampu mengontrol tingkah lakumu di hadapan publik. Aku bisa apa? Tapi maaf, sekali jalang tetap saja jalang. Aku tidak dapat mencabut perkataanku. Dan lagi, aku sama sekali tidak cemburu padanya."

KAMU SEDANG MEMBACA
THE END
FanfictionAku bersamamu karena sebuah ikatan, bukan landasan. H ✎ 𝘰𝘯 𝘨𝘰𝘪𝘯𝘨 ... 「written in bahasa 」 Copyright ©2020 by 𝘁𝗮𝗸𝗶𝗻𝗴-𝗮𝗹𝗹𝘁𝗵𝗲𝗿𝗶𝘀𝗸