Aku mendengar suara Harry yang menggema dari sini, dapur. Melirik jam, ternyata sudah pukul delapan lewat dan masakanku belum selesai. Harry pasti akan mengeluh.
Sekali lagi, ia memanggil namaku yang tidak aku indahkan. Masakanku lebih menarik dari suaranya. Perutku butuh makan setelah melalui hari yang melelahkan.
"Stephanie Styles!"
Jelas saja aku terkejut dan hampir saja melayangkan spatula yang kugunakan untuk mengaduk kentang tumbuk. Pertama; karena ia menyerukan namaku begitu keras, dengan nada mengamuk. Kedua; ia juga memanggilku Styles yang kurasa baru pertama kalinya dengan cara frontal. Aku mendapati dirinya sudah berada di perbatasan dapur dengan ruang makan.
Menghiraukannya, aku melanjutkan kegiatan memasakku. Fokusku teralihkan pada wangi daging panggang yang minta diangkat dari pemanggangan. Seakan-akan aku terhipnotis dan tidak mendengar kicauan Harry.
"Aku membuat daging panggang karena belakangan ini kepalaku pusing, kurasa tekanan darahku kembali turun." Aku memindahkan semuanya ke meja makan tidak lupa mengeluarkan jus dari kulkas yang aku buat beberapa saat lalu. Sepenuhnya menghiraukan Harry. "Kamu mau kentang tumbuk, tidak?" tanyaku. Namun aku tak kunjung mendapatkan jawaban sampai aku sudah selesai mengambil porsiku sendiri. "Kamu tidak mendengarku, Harry?"
"Tahu rasanya dihiraukan?" jawabnya sarkastik.
Oh?
"Aku hanya akan menyiapkan makan malammu dan itu jawabanmu? Baiklah, kamu yang butuh makan. Ambil makananmu sendiri!" kataku sembari membanting piring yang tadinya akan aku gunakan untuk mengambil makanannya. Beruntung ia tidak pecah.
Aku menarik kursi dan mulai memakan makananku, berusaha menikmatinya. Tidak habis pikir pada bedebah dihadapanku ini yang kembali memancing emosi. Sudah bagus aku memasakannya tapi itu semua balasannya padaku? Tidak tahu diri.
Kurasa, Harry mengelus dadanya menahan amarah yang akan muncul menanggapi sikapku barusan. Ia terlalu kekanak-kanakan untuk menjadi kepala rumah tangga. Maksudku—kami, kami terlalu kekanak-kanakan untuk membangun sebuah rumah tangga. Daging panggang yang awalnya menggoda kini terasa begitu hambar. Nafsu makanku hilang.
"Stephanie,"
Bahkan Harry tidak jadi mengambil makanannya membuatku sedikit kecewa. Tapi, sekali lagi aku tekankan bahwa aku tidak peduli padanya.
"Kamu bilang tadi tidak akan kemana-mana? Lalu mengapa kamu hujan-hujan? Maaf akan sikapku tadi, aku memang pecundang."
"Yes, you are." Aku memutar mataku jengah kemudian meletakkan garpu dan menghadapnya. "Lalu darimana makanan di meja ini kalau aku tidak keluar, huh?"
Harry diam.
"Bahkan tidak ada bahan makanan tersisa di kulkas besarmu itu, Harry. Astaga, aku tidak habis pikir kamu marah karena aku pergi keluar?"
"Kamu tidak paham, Steph. Bukan itu maksudku. Aku marah karena kamu ceroboh. Bagaimana keadaanmu? Kamu keluar tanpa izinku, tanpa Robert dan hujan-hujanan. Aku khawatir, tolong mengertilah."
"Kamu berlebihan, Harry."
"Baik jika kamu menganggapku demikian. Jangan buka media sosialmu."
Tunggu, memangnya ada apa? Aku beranjak dari dudukku menuju ruang tengah dimana tasku berada. Aku langsung mengambil ponselku di dalam sana. Namun, setelah berhasil, rasa penasaranku hilang begitu saja, mengingat dampak apa yang aku rasakan setiap kali membaca artikel tentang diriku. Hampir semuanya salah.
Aku mendengus kesal melempar ponsel ke sofa.
"Tidak usah dipikirkan. Ayo makan!" Pria ikal itu tiba-tiba menampakkan batang hidungnya sembari membawa 2 piring di tangannya yang kuasumsikan piringku dan piringnya tadi. Ia mendorongku hingga aku terduduk dan menyodorkan piringku.

KAMU SEDANG MEMBACA
THE END
FanfictionAku bersamamu karena sebuah ikatan, bukan landasan. H ✎ 𝘰𝘯 𝘨𝘰𝘪𝘯𝘨 ... 「written in bahasa 」 Copyright ©2020 by 𝘁𝗮𝗸𝗶𝗻𝗴-𝗮𝗹𝗹𝘁𝗵𝗲𝗿𝗶𝘀𝗸