Jujur, diriku munafik jika tidak mengakui ketampanan Harry. Dia tampan. Puas? Jangan puas terlebih dahulu, ia hanya tampan rupa, bukan tampan hati. Mengapa? Karena aku sudah 3 bulan mengenalnya dengan nyata. Bukan seperti penggemarnya yang hanya mengenalnya lewat layar ponsel mereka.
Dalam benak aku bersyukur menjadi wanita yang biasa-biasa saja, jika aku terkenal... betapa murahannya diriku telah memeluk ribuan penggemar di dunia ini. Itu membuatku mengernyit jijik.
"Apa yang membuatmu seperti itu?"
Dia bersuara, membuatku menoleh ke arahnya yang berada di sampingku untuk melihatnya yang sedang tidak menatapku. "Apa?"
"Mengernyit."
"Betapa murahannya dirimu telah memeluk ribuan penggemarmu," kataku tertawa, "no offence."
"Aku memaklumi dirimu yang tidak mempunyai penggemar sama sekali."
So deep, bruh.
"Kamu diam?" katanya lagi, sambil membenarkan posisinya supaya lebih nyaman berlama-lama duduk di atas kursi mobil ini. "Kamu mengakui sindiranku."
Berdecak lidah, aku membawa kakiku pada pahanya. "Tidak ada untungnya melayani mulut lancangmu, siapa peduli? My Mom is my number 1 fans."
"Apakah salah jika diriku terheran, memang apa yang dapat dibanggakan darimu, Steph?" dia tertawa mencemooh. Baik, bersiaplah dengan tamparanku, Styles.
"Entahlah, aku juga heran dengan Ibuku. Tapi, menurutku, aku telah berkorban... ya! Mengorbankan kebahagiaanku demi nyawanya!"
Harry diam. Kulihat matanya mengarah pada sopir di depan. Lalu tangannya menyentuh permukaan pergelangan kakiku, meremasnya—memijat lembut. Gadis batinku kegirangan mengetahui fakta bahwa dia sangat bakat menjadi tukang pijat! Astaga!
"Tunggu, jangan buka mulutmu," cetusku ketika ia akan kembali berbicara, "lagipula tidak mungkin aku merelakan nyawanya terbang begitu saja dan tidak mungkin aku rela membunuhnya demi dapat bercerai denganmu."
"Steph..." dia menggeram memperkuat cengkraman yang tadinya halus di kaki kiriku.
"Ah, jangan naif, kamu juga menantikan hal tersebut."
Lagi pula cengkramannya tidak sakit sama sekali. Jadi, aku membiarkannya melakukan apa yang dia suka. Belakangan ini diriku juga gemar membuatnya naik pitam, karena siapa tahu dia terkena serangan jantung tanpa susah-susah aku yang membunuhnya dan keuntunganku ialah mendapat sebagian warisan hartanya tanpa mewarisi pada keturunannya.
Aku masih tidak mau hamil karena Ibuku berkata melahirkan itu sangat sakit. Seperti 20 tulang yang dihancurkan secara bersamaan dan di posisi itu dia bertaruh nyawa untuk melahirkanku juga adikku—dulu. Tidak salah bukan jika diriku terheran dengan Kris Jenner—mantan calon ibu mertua Harry—yang mempunyai banyak anak? Entah itu operasi ataupun normal aku tidak peduli. Kata orang, semua sama sakitnya.
Astaga, bahkan aku tidak dapat membayangkan seorang perawan yang sedang berhubungan badan, pasti itu juga sakit. Menjijikkan. Aku mengernyit kembali mengingat diriku merupakan seorang perawan.
"Berapa jam lagi kita akan sampai?"
"Sebentar lagi," ujar mereka bersamaan.
Aku menendang pahanya dengan kaki yang tadi ia perkosa, kaki kiriku. "Ha! Kamu tahu aku bertanya pada Robert bukan padamu."
"Sembarangan!" Harry melempar kakiku begitu saja ke dasar mobil, "hati-hati, kakimu bisa menyakiti milikku."
"Siapa peduli? Toh, aku tidak membutuhkannya."
"Awas saja, memang kamu mau menjadi perawan tua? Aku meragukan kata perawan padamu..."
Benar-benar dia, jangan sampai diriku terkena gangguan kejiwaan karena Harry. Lebih baik aku tidur sembari menyumpal telingaku dengan earphone, berharap ketika aku terbangun aku sudah tidak mendapati mulut biadab itu.
♡♡♡
ahhhhhh, jadi ini chapt keduanya. gimana? gimana?
belum ada apa-apanya emg :(
don't forget to leave your vomment(s) bellow! Xx
-thankies💕
KAMU SEDANG MEMBACA
THE END
Fiksi PenggemarAku bersamamu karena sebuah ikatan, bukan landasan. H ✎ 𝘰𝘯 𝘨𝘰𝘪𝘯𝘨 ... 「written in bahasa 」 Copyright ©2020 by 𝘁𝗮𝗸𝗶𝗻𝗴-𝗮𝗹𝗹𝘁𝗵𝗲𝗿𝗶𝘀𝗸