43. heart to heart.

1.1K 127 50
                                    

Sepulang dari belanja, Aksa terus diam, padahal Mawan udah ngajakin ngobrol, tapi tetap didiemin. Akhirnya Mawan ikutan diam dan coba kasih Aksa waktu untuk mikir apa yang baru aja terjadi.

"Pake handsanitaizer nya, abis itu langsung masuk aja, gue mau semprot keresek belanjaan dulu," kata Mawan.

Aksa ngangguk patuh, dia ngambil handsanitaizer yang ada di mobil, setelah itu dia ninggalin Mawan yang lagi ngatur-ngatur belanjaan yang sekiranya bisa disemprot disinfektan.

"Bunda," panggil Aksa saat melihat ibunya sedang berdiri di kitchen set.

"Eh? Udah pulang? Gak ada assalamu'alaikum nya kamu nih," kaget Ayra.

"Udah, tapi pelan, jadi Bunda gak dengar," jawab Aksa.

"Yeee, kebiasaan," omel Ayra.

Aksa tersenyum kecil, ia mendekat kearah ibunya yang sedang memasak, dipeluknya Ayra dari belakang, menyembunyikan wajah lesunya di ceruk leher sang ibu.

"Kenapa sayang?" tanya Ayra yang seolah paham jika anaknya masih dimasa-masa manja.

"Can i ask?" tanya Aksa.

"Sure," balas Ayra.

"You happy?"

Ayra melirik Aksa dari samping, kenapa anaknya tiba-tiba bertanya seperti itu?

"I'm happy when my family happy," jawab Ayra setelahnya.

"No, i mean, were you happy when i was born?" ulang Aksa.

Ayra menghentikan kegiatannya, pertanyaan yang aneh, dan sedikit membuat Ayra kesal. Dilepasnya pisau yang ia pegang, lalu dielus pelan tangan anaknya yang melingkar di pinggang.

"Of course i'm happy. Listen, i'm a married women, and of course i want child for my life. Kelahiran Aksa dan Abang, Arka, bahkan saat kedatangan Hafzar dan Altan, Bunda sangat-sangat bahagia. Bukan hanya Bunda, Ayah, tapi Papi, Daddy, Abi, Papah, mereka juga bahagia. Kamu tau? Waktu kalian berdua lahir, semua keluarga Bunda dan Ayah nunggu, mereka nunggu dari pembukaan empat. Kamu bayangin ruangan rumah sakit yang sempit itu diisi lebih dari sepuluh orang, istri mereka juga ikut dan ada kakek nenek kamu saat itu, Bunda aja sesak nafas," Ayra terkekeh mengingat saat-saat ia akan melahirkan anak pertama dan keduanya.

"Yang paling buat Bunda kesel, empat Abang Bunda juga pengen masuk ke ruang bersalin," Ayra masih terkekeh.

"Dan kamu teriak nyumpahin empat Abangmu," lanjut Ataya yang baru saja datang dari halaman belakang.

Ataya mengusap pelan rambut Aksa, mengecup sayang pelipis anaknya yang masih menyembunyikan wajah di ceruk leher istrinya.

"Aku kesel," gumam Ayra sambil manyun.

"Iya, paham," balas Ataya.

Ataya memeluk Aksa dan Ayra dari samping, kembali mengecup pelipis anak dan istrinya.

"Aksa, you hurt my feeling when you questioned that. Ayah dan Bunda, seorang suami istri, sudah menikah, dan sudah pasti mengharapkan anak. Saat Bunda tes kehamilan untuk yang pertama kali..." Ataya menghentikan ucapannya, semburat merah muncul di pipinya samar.

Ayra melirik Ataya, senyum usil ia berikan dan Ataya membuang pandangannya, menyembunyikan rasa malunya.

"Kenapa?" tanya Aksa penasaran, ia menatap Ayahnya.

"Ayah nangis, seminggu lebih. Setiap ngeliat Bunda, Ayah selalu nangis, Ayah terharu. Ayah jadi orang paling sensitif yang pernah Bunda temui saat itu. Kalau Bunda morning sickness, Ayah bakalan nangis sambil bilang, 'aku aja yang muntah, aku aja yang susah, gak usah kamu. Kamu udah nanggung mereka di badan kamu, biarin aku aja yang muntah,'. Rada bodoh Ayahmu tuh, gejala hamil mana bisa dipindahin gitu aja, Ya Allah kalau ingat Ayahmu waktu hamil kalian, pengen Bunda smack down. Lebay banget asli," jelas Ayra.

Kembar-kembar Somplak. (EdiSi BaRu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang