4

306 43 0
                                    

Selasa, 1 Januari 1996

Semalam, kita begadang diam-diam dan keluar diam-diam juga.

Harusnya nggak boleh, tapi aku sadar kalau mereka nggak bisa dilarang terus. Akhirnya kubolehkan dengan syarat suster nggak tahu. Maafkan aku, suster 🙏

Kubilang hanya boleh yang dekat, jadi kami memutuskan pergi ke lapangan disamping RS. Disana kembang apinya kelihatan jelas dan tidak ada yang tahu, jadi kami pikir itu ide bagus untuk menikmati malam tahun baru disana. Aku tahu islam tidak menganjurkan merayakan tahun baru masehi, tapi aku tak ingin membuat teman-temanku kecewa. Toh, hanya menonton kembang api.

Aku berhasil memaksa Taufan dan Blaze memakai jaket dan syal. Udara di Bandung dingin, terutama kalau malam. Solar terpaksa pakai kursi roda. Dia kan leukimia, mana boleh jalan seenaknya. Mengingat dia hanya rawat jalan selama bertahun-tahun, itu mendukungku sekali.

Tadi malam, ketika jam sudah mencapai angka 00.00, langit kelihatan cantik karena kembang api. Mata Thorn tidak bisa berhenti berbinar. Yang lain juga keliatan seneng banget. Aku senang mereka senang. Maksudku, bukannya mereka jarang merasa senang, syarat bahagia kami setahun terakhir berkurang mengalahkan siapapun. Tapi mereka kelihatan seperti anak normal, yang tidak perlu mengkhawatirkan pemeriksaan rutin, obat yang harus diminum tiap hari ataupun perawatan kemoterapi. Tidak terlihat seperti anak yang dewasa sebelum umurnya.

Melihat itu, aku jadi memikirkan tentang keluargaku.

Abi,

Umi,

Adek,

Apa kalian bahagia diatas sana?

Aku masih ingat suasana sekolah kita dulu lho, dek.

Aku juga inget cerita umi soal gimana tegasnya abi melaksanakan tugasnya sebagai polisi. Sayang aku nggak ingat, aku masih kecil, sih.

Om Karang juga. Asisten abi yang paling abi sayang udah kayak anak abi sendiri, artinya kakak kita juga, kan?

Yang aku ingat kejadian beberapa tahun setelah itu...

Kejadian itu...

Umurku sempurna 5 tahun. Ulang tahunku. Hanya untuk keluarga kita, termasuk Om Karang yang udah kayak keluarga kita juga. Kue cokelat favoritku, adek yang sok tahu bersikeras nyalain lilin padahal udah dilarang, obrolan sama Om Karang yang wawasannya luas, do'a abi...

Dan tentu saja 'itu'.

Perunggu tajam yang menebas malam.

Hari itu, entah kenapa dan entah bagaimana, sekelompok orang berhasil masuk dan membabi buta menusuk, menebas dan menikam.

Aku takut, tapi aku tak boleh menangis. Adek sudah menangis duluan. Abi menyuruh Om Karang membawa kami pergi secepatnya. Aku menolak, tapi apa daya. Om Karang tangannya sangat kuat. Tapi walaupun Om Karanglah yang membawa kami berdua pergi, aku bisa melihat air mata Om. Om menangis.

Aku sempat menoleh ke arah abi dan umi, dan melihat dengan mata kepalaku sendiri...

Maafkan aku yang menangis saat menulis ini, abi, umi. Padahal aku sudah janji untuk jadi anak yang kuat... maafkan aku. Tapi izinkan aku terus menuliskannya, agar aku dapat benar-benar merelakan kepergian kalian.

Setelah acara makan malam yang rusak itu, Om Karang segera membawa kami jauh-jauh sambil ngebut di jalan lengang. Adek mengamuk di mobil, bilang ingin bertemu abi umi. Aku berusaha menenangkan adek, padahal aku sendiri juga menangis. Setelah beberapa jam mengamuk, adek tidur dan disusul aku.

Room 309's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang