2

371 53 1
                                    

Minggu, 1 Oktober 1995, 21.04

Aku tak pernah tahu kalau rumah sakit bisa seperti ini. Senangnya lihat Thorn akhirnya bisa bahagia. Miris banget sih, di rumah yang harusnya penuh kasih sayang dia hancur, di rumah sakit dia dibangun Ú-Ù.

Aku bisa bebas main IG disini. Yaa... dikontrol juga sih sama suster dan Gem (Thorn bilang dipanggilnya Mama Gem) tapi tetap nggak se-dikekang di rumah. Disini aku akhirnya punya teman, dan keluarga baru.

Keluarga baru? Lah, aku dan Thorn kan dibuang. Walau Thorn terlalu innocent jadi nggak sadar, aku tahu secara naluri kalau kita dibuang. Kalian mau buang kita? Ya sudah! Kami baik-baik saja tanpa kalian.

Aku tahu kok keluarga besar benci kita. Sejak kalian tahu aku leukimia aja udah benci banget. Apalagi waktu ketahuan Thorn ataksia. Hancur sudah keharmonian. Bum! Kita dilemparkan ke tempat antah-berantah. Selamat, anda mendapatkan tiket masuk rumah sakit! Silakan menempati kamar 309 dan nikmati fasilitas kemoterapi, pengecekan kesehatan rutin dan lain-lain. Terbatas hanya untuk pengidap sakit parah yang sulit disembuhkan! Bah.

Yah, setidaknya ada yang peduli dengan kami disini, bukan. Ada yang tulus tersenyum pada kami. Tidak ada lagi yang selalu memukul kepala Thorn kalau ia salah nada sedikit saja dengan kayu. Tidak ada lagi batu yang menyakiti kekasi--biolaku kalau mereka gagal dalam pertunjukan. Tidak ada tangisan tiap malam.

Akhirnya, kita bisa menjadi anak yang normal. Bukan anak seorang musisi tersohor internasional dan seorang aktris terkenal yang terobsesi untuk membuat anak yang sempurna seperti mereka.

Aku tahu ataksia Thorn lumayan. Apalagi trauma benturan yang dialaminya sangat kuat. Gara-gara mama terus memukul kepalanya dengan kayu, kepala Thorn yang ajaibnya masih bertahan punya trauma yang hebat. Aku benci mama karena itu. Tolong deh. Aku tahu aku jenius tapi kalau aku saja bisa mengerti hal itu menyakitkan bagi Thorn kenapa mama dan papa tidak?

Gem bilang, aku bisa menulis apapun yang aku mau disini. Jadi baiklah. Supaya aku tidak lagi menoleh ke belakang. Supaya dendam ini habis dituliskan.

Aku akan menulis tentang keluarga. Tentang agama. Tentang derita. Tentang sakit.

Tentang masa laluku.

Dulu, mama tidak pernah mau punya anak. Ketika mama hamil aku, mama mengeluh pada papa soal betapa rumit urusannya kalau dia punya anak. Papa membujuk karena satu keluarga tahu bahkan kabar kalau mama hamil sudah menyebar kemana-mana. Mama setuju dengan syarat mobil baru dan perhiasan emas baru. Matre emang.  Dan akupun lahir. Bayi ganteng nan jenius yang ditakdirkan untuk menjadi populer.

Setahun kemudian, mama kembali hamil. Papa harus mengeruk dompetnya lagi untuk membujuk mama agar tidak menggugurkan  Thorn. Ketika Thorn lahir, mama memutuskan tidak akan mau hamil lagi. Thorn bayi kecil yang lucu dan imut juga bersuara merdu. Semua keluarga besar menyambutnya dengan baik.

Mama dan papa melihat potensi dalam diri kami. Jadi di sela kesibukan mereka, kami diajari untuk menjadi seorang model dan musisi. Kami tidak sekolah, tapi home-schooling. Karena seringkali mama dan papa terlalu sibuk untuk mengajari kami, mereka memanggil guru untuk mengajari kami cara menjadi bintang. Thorn diajari cara menyanyi yang baik dan aku yang jatuh cinta dengan biola diajari cara memainkannya.

Thorn dan aku seringkali dipanggil untuk tampil di film atau pertunjukan musik. Kami juga pernah jadi model majalah sekali.  Channel YouTube kami yang mencapai 2.000.000 subscriber bernama SoRi. Nama itu papa yang kasih.

Apakah hidup kami bahagia?

Tidak.

Mama tidak pernah main-main dalam meng(h)ajar kami. Bayangkan, Thorn salah sedikit nada saja kepalanya akan dihajar kayu. Aku salah tempo sebentar saja betisku akan berciuman dengan kayu rotan. Dan ini terjadi tidak hanya sekali tapi setiap hari.

Kami muak dengan itu semua. Mendengar Thorn yang selalu menangis tiap malam makin membuatku dendam dengan mama dan papa.

Hanya ketika hari Minggulah penderitaan itu terhenti sejenak. Karena mama dan papa harus ke gereja. Aku dan Thorn tidak ikut. Kami tidak suka dengan gereja. Tidak suka juga dengan segala nyanyiannya.

Alih-alih, kami suka kabur ke masjid dekat situ.

Aku pernah mendengar sebuah lagu disana, saat itu 3 Januari 1991 jam 09.29. Lagu berbahasa yang tak pernah kudengar dan tak kumengerti, tapi entah kenapa memberi kehangatan dalam hati yang dingin ini. Sekarang aku tahu itu bacaan Al-qur'an, kitab suci umat islam.

Aku suka mengajak Thorn kesana. Mengintip anak-anak yang belajar Al-qur'an. Mereka kelihatan sangat bahagia. Mau tak mau aku iri dengan mereka. Seorang Solar, artis dan musisi cilik yang populer dan sempurna, iri pada anak-anak dari keluarga sederhana.

Miris? Iya banget.

Ustadz yang mengajar disana tahu kami sering datang dan mengintip, jadi pada 14 Februari jam 07.45 disaat para murid belum datang, ustadz itu memanggil kami berdua. Namanya Ustadz Khalif. Beliau baik banget, beda banget sama orangtuaku. Kami memutuskan masuk islam diam-diam.

Aku divonis leukimia saat umurku 9 tahun, tepatnya 13 Maret 1993. Saat itu keluarga besar mulai menjauh. Mama bukannya memelankan hukumannya malah semakin menjadi-jadi. Aku kasihan pada Thorn yang harus merawatku tapi... mau gimana lagi?

Aku sempat depresi banget karena tekanan dari orangtua dan penyakitku ini. Saat itu 6 September 1995.  Aku kabur. Aku pergi ke bukit dekat rumah dan menangis sampai puas. Aku pulang dan...























Aku melihat kepala Thorn berdarah.

Mama dan papa keterlaluan. Darah Thorn mengalir deras sekali. Binar mata zamrudnya mulai meredup. Aku ketakutan, tak tahu harus kemana. Aku berlari membopong Thorn sambil menangis. Sebenarnya tak tentu arah, tapi kakiku lebih tahu apa yang ada di alam bawah sadarku.

Aku menuju rumah Ustadz Khalif.

Ustadz Khalif langsung membawa Thorn ke rumah sakit terdekat. Aku berdoa sepanjang jalan agar Thorn baik-baik saja. Thorn segera masuk UGD. Pendarahan di kepalanya sudah terlalu parah. Ustadz mengelus kepalaku dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Allah yang mengatur.

Setelah 30 menit yang meresahkan, dokter keluar dan memberitahukan kabar itu.

Thorn memang selamat, tapi...


Dia... mengalami ataksia karena trauma benturan di kepalanya.

Aku tak percaya. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin adikku yang manis ini menderita ataksia? Bagaimana bisa? Tidak adil! Aku ingin berteriak seperti itu.

Tapi ustadz memelukku dan berkata bahwa Tuhan selalu adil... Tuhan selalu adil... bersabarlah, karena gunung pun takluk oleh kesabaran. Aku lagi-lagi menangis. Aku tak tahu lagi bagaimana pendapat semua orang padaku. Solar yang haus kepopuleran, saat itu, menyerah pada takdir. Menyerah pada rasa kasih sayang terhadap adiknya.

Setelah itu, ustadz menelepon orangtua kami untuk membawa kami pulang. Mama kelihatan ingin memukulku karena bergaul dengan ustadz, tapi karena saat itu kami di tempat umum dan mama harus menjaga image, jadi mama hanya menggandeng tanganku kemudian pulang. Thorn digendong papa.

Kupikir, takdir tidak bisa lebih kejam dari ini, bukan? Hidup tidak bisa lebih berliku dari ini, bukan?

Dan tepat saat aku mulai berpikir begitu, seminggu kemudian, Bum! Kami berdua dibuang di sebuah rumah sakit. Seolah setelah puas mengeruk uang dengan paras dan keahlian kami, kami bisa ditelantarkan begitu saja. Hanya karena orang islam harus menghormati orangtuanyalah aku masih menyebut mereka mama dan papa.

Kukira hidup kami hancur. Kukira hidup kami akan terus terjun bebas seperti didorong dari tepi jurang ke cadar berduri.

Ternyata tidak. Allah MahaAdil. Allah sungguh MahaAdil.

Yah, lihatlah. Hari ini Thorn bisa tertawa lagi. Bahkan sudah pintar menjaili dia sekarang. Sudah jadi bandel. Bahkan aku sekalipun merasa kalau mungkin, setelah sekian tahun dalam ketakutan, kami bisa hidup dengan penuh harapan.

Sudah malam. Gempa sudah menyuruhku berhenti. Lagipula tintaku sebentar lagi habis.

Salam swag,

Solar yang ganteng.

Room 309's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang