9 September 1996.
Hingga hari ini semua masih terasa sendu.
Kepergian Taufan benar-benar mengikis kebahagiaan kami.
Dia tidak mengatakan apapun. Dia tidak menunjukkan apapun.
Bocah satu itu... dia terlalu lihai memasang topeng badut sialan itu.
Kenapa kau harus pergi?
Kenapa?
Kenapa kau harus pergi sekarang, bodoh?
Itukah kenapa kau memintaku memainkan lagu kesukaanmu hari itu?
Kenapa aku tak sadar?
Aku bahkan masih bisa mendengar tawamu sekarang, menertawakanku yang sedang menangis. Huh. Bahkan setelah meninggal pun kau masih kurang ajar, ya?
Kau ini bagaimana, sih. Hoverboard itu kan baru berumur beberapa bulan. Sayang tau.
Dan bisa-bisanya kau pergi sambil tersenyum, heh. Kau sadar tidak betapa banyak kesedihan yang sudah kautimpakan pada kami? Kukira tugasmu menghibur?
Aku masih ingat pagi itu. Blaze yang disuruh membangunkanmu yang entah kenapa bangun lebih lama dari Ice, tau-tau menangis sambil menjerit.
Gempa langsung menanyakan apa yang terjadi. Blaze menjawab sambil menangis, alhasil malah membuatnya nggak jelas. Aku memeriksa jantungmu. Tak berdetak. Aku memeriksa dadamu, tak bernapas.
Dan aku tahu kau pasti akan tertawa melihat wajah kami yang menangis serempak.
Kau ini, tau tidak sih sakitnya menangis dari 1 mata saja? Mata kiriku perih sekali, tau.
Tubuhmu dingin sekali saat itu, Taufan.
Kamu membuatku menangis, lho.
Dari dulu kamu ingin itu, kan? Puas, heh?
Taufan... dia terlalu banyak bercanda.
Bahkan ketika penyakitnya mencapai tahap kritis pun dia masih bisa tertawa.
Suster memberitahuku semuanya.
Bocah itu sudah mencapai batasnya. Bukannya dia sudah dari lama dibilang, jangan kebanyakan bercanda.
Dia menyakiti dirinya sendiri.
TBC-nya sudah tidak bisa ditahan lagi. Aku suka menemukan fakta kalau wastafel kamar mandi suka berisi darah (walaupun aku masih belum tahu itu darahnya atau darah Gempa). Selera makannya suka berkurang dan belakangan memang tubuhnya panas.
Jadi itu yang mau dia sembunyikan?
Ah, dasar.
Anak itu, kapan ia akan mulai memikirkan dirinya sendiri?
Dia tidak berubah sama sekali. Dari pertama kali datang juga dia begitu.
Kapan dia sadar, kalau tawa tak bisa selesaikan segalanya?
Tidakkah dia lelah setelah semua canda dan tawa yang dia lakonkan? Harus banget apa memendam itu semua yang ujung-ujungnya berakhir dengan dia mati juga?
Sebenarnya seberapa kuat manusia itu?
Bukannya manusia itu lemah? Makanya mereka diciptakan berkelompok untuk menanggung beban bersama?
Lalu kenapa?
Hah, aku bisa gila karena memikirkan beginian. Otakku kan tidak dirancang untuk memikirkan hal berat begini.
Taufan, kau pergi terlalu cepat...
Apa kau sudah lelah berjuang?
Kau sudah pergi, jadi tak ada gunanya juga bicara padamu, heh.
Ceh, bahkan pesan terakhir pun tidak kau tulis.
Senyum terakhir itu...
Kau beneran senang ya, sudah bebas dari beban dunia.
Yah, Taufan, selamat tinggal.
Aku akan rajin-rajin menziarahimu, kalau sempat.
Semoga kita bertemu lagi di alam yang berbeda.
Halilintar.
P.s. aku ingin menulis lagu yang kita buat itu. Kau masih ingat bukan?
In a small world
We stay
Waiting for happiness
To come within
Within these words
We fight
Until a piece of kindness
Will show its lightThere's a million of stars
Covered by the dark sky
There's hundred of scars
Covered by lieForever we stay
Our stories will told
Cause once we're fall
We'll fight again
We promise
Beyond the night sky
We promise
Beyond all that lie
We promise
Forever we stayDon't be sad if I go first
All i hope is for your happinessForever we stay
Even if we apart
Our heart is together
Forever.
KAMU SEDANG MEMBACA
Room 309's Diary
Fiksi PenggemarMinggu, 4 April 2021 Kak, tidak terasa kita sudah berpisah selama 20 tahun, ya? Aku sudah menunaikan janji, kak. Aku sudah bertahan hidup. Keren kan aku? Hehe. Kak, hari ini, ada seseorang yang spesial ingin membuka kenangan kita. Boleh kan kak? K...