30

244 27 0
                                    

Selasa, 26 Januari 1998

Kalian tahu, aku sudah lelah.

Lelah menangis. Lelah meratap. Lelah kehilangan. Lelah menghadapi semua derita yang entah kapan selesainya.

Hari ini, hujan turun.

Aku tadi mendatangi kuburan. Tidak peduli hujan mengguyur tubuhku. Tidak peduli. Apalagi soal penyakit yang bersemayam di tubuhku ini.

Menatap 4 nisan yang berdiri berdampingan, menjaga 4 jasad dalam tanah yang kurindukan.

Dandelion Hali berguguran. Lily Taufan rebah ke tanah. Geranium Ice lemas karena hujan. Hyacinth Blaze mendentingkan air hujan.

Aku ingat, mereka semua, tidak, kami semua pernah bilang, kami suka hujan.

Hali bilang, di hujan, dia diajarkan soal ketegaran, karena hujan sama sepertinya, jatuh, jatuh, dan jatuh... tak henti-henti, namun tak pernah mengeluh.

Taufan bilang, di hujan, dia bisa menangis sepuasnya, karena hujan tidak akan merendahkannya, meledeknya, dan merundungnya kalaupun ia menangis. Hujan akan menjadi topengnya sehingga ia tak perlu tertawa untuk menutupi tangisnya.

Ice bilang, di hujan, dia merasakan ketenangan. Saat rahmat Allah turun ke bumi, dia bisa mendengar nyanyian merdu nina bobo yang membuainya.

Blaze bilang, di hujan, dia bisa melepaskan semua beban di pundak kecilnya. Dia bisa bebas bermain dan melepaskan emosinya. Hujan adalah teman bermain terbaiknya.

Semua memori bersama itu melintas di kepalaku selagi aku memandangi kaca jendela yang basah kena tetesan hujan.

Hei, kalian.

Hujan turun.

Denting suaranya mengingatkanku pada Hali yang memainkan lagu favorit kita dengan gitarnya.

Tetesan airnya mengingatkanku pada Taufan yang tangisannya amat langka.

Suasananya mengingatkanku pada Ice yang selalu membuatku mengantuk hanya dengan duduk di sebelahnya.

Genangan airnya mengingatkanku pada Blaze yang suka bermain air tak peduli dengan penyakit dan usianya.

Hei, kalian.

Hujan turun.

Bagai tangisan dari langit yang terharu mendapatkan penghuni sebaik kalian. Bagai tahu perasaanku yang hancur kehilangan cahaya dalam hidupku. Bagai lagu penghibur yang berusaha langit turunkan untuk menghiburku dan banyak orang.

Hei, kalian.

Hujan turun.

Mengisi tanah yang kering agar menjadi segar dan berisi. Membagi kebahagiaan dan kesedihan dalam satu melodi. Membungkam semuanya saat ini, untuk mereka bercuit bahagia nanti.

Hei, kalian.

Hujan turun.

Membuka kotak pandora bernama memori. Berusaha merasuk ke mata melalui otak dan hati. Mewujud menjadi tetesan kristal yang menetes di kertas putih suci. Melubangi setiap senti tameng keegoisan di hati. Membasuh semua noda, bahkan jika itu harus membuatnya dibenci.

Hei, kalian.

Hujan turun.

Kuasa Allah membuatnya terus turun ke bumi. Lagi, lagi, dan lagi. Tak pernah berhenti. Mungkin akan dicemooh oleh hati yang sepi, tapi disambut bahagia oleh jiwa yang menanti. Menuai kebahagiaan yang menjadi motivasi untuk terus turun... lagi, lagi dan lagi.

Hei, kalian.

Hujan turun.

Seolah tak bosan terus mendengar keluhan makhluk ini. Terus menyebar manfaat walau kadang kedatangannya direspons dengan benci. Terus turun dan percaya pada higanbana biru yang ia rawat dan kasihi.

Hei, kalian.

Hujan turun.

Bersamaan dengan cairan bening yang menetes saat ini. Menimpali angan kesepian sesosok jiwa di bumi. Membuai jiwa mungil yang lelah dengan semua ini.

Hei, kalian.

Hujan turun.

Dan saat ini, di hujan ini, aku bisa merasakan kehangatan yang kalian miliki. Seolah kalian datang dan memeluk pundakku saat ini. Seolah kalian menghapus air mataku dan membisikkan kata-kata penyemangat seperti dulu lagi.

Hei, kalian.

Hujan turun.

Bisakah, kumohon, saat ini.

Kalian datang dan memelukku lagi.

Mungkin ini hanyalah keinginan egois hati ini yang hampa dan sepi, tapi,

Aku rindu dengan melodi yang kalian beri.

Tolonglah, walau tak mungkin terjadi.

Beri aku pelukan sekali lagi.

Di tengah hujan yang turun hari ini.

Wassalamu'alaikum,

Gempa.

Room 309's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang