5

320 44 1
                                    

Rabu, 5 Februari 1996

Tadi sore kami menziarahi makam orangtua Blaze, Ice, Gempa dan Taufan

Solar bertanya kenapa aku tak menangis sama sekali. Kurasa dia menganggapku berhati batu. Sebenarnya sih memang.

Sejujurnya, aku tak pernah merindukan kasih sayang orangtua karena aku tak pernah punya orangtua.

Aku besar di kejamnya kehidupan.

Aku dibuang sejak umurku masih 1 tahun. Aku tak ingat wajah, suara, ataupun rupa orangtuaku. 2 tahunku yang harusnya menjadi masa penuh kebahagiaan diisi dengan mengais-ngais sampah, tidur di halaman belakang, ditendang dan dicaci. Aku sungguh berusaha untuk bekerja, tapi apa yang bisa dilakukan anak berumur 3 tahun?

Aku menjadi gelandangan sejak dini. Tapi aku tak pernah meminta-minta, karena aku tak cocok untuk diberi belas kasihan. Aku pernah mencobanya, tapi pengemis tua di sebelahku bilang wajahku terlalu serius dan mataku terlalu tajam. Tidak akan ada orang yang kasihan dengan raut marah yang selalu kutampakkan tanpa sadar biarpun aku masih kecil.

Jadi itu harus kucoret.

Aku berharap aku bisa tidur dan mati saja esoknya, tapi itu tak pernah terjadi. Aku sadar, kalau aku tak bertahan di kehidupan, kehidupan akan menggilasku. Jadi menginjak umur 4 tahun, aku makan dari mencopet. Aku bisa lari dengan cepat mengalahkan siapapun di usiaku.

Sayang aku tak bisa bekerja dengan hasil dari mencopet. Aku tidak ingat itu kapan, tapi aku ingat ada beberapa preman jalanan pernah memalakku. Aku masih sangat muda, masih belum mengerti. Aku tidak mau memberi mereka uang, bahkan aku mempertahankannya. Celaka bagiku, mereka membawa benda tajam.

Disanalah aku kehilangan mata kiriku.

Aku berusaha mencari pertolongan, tapi rumah sakit tempat yang kejam.

Orang miskin dilarang sakit.

Mata kiriku tidak pernah mendapatkan perawatan karena aku diusir oleh satpamnya bahkan sebelum aku melewati gerbang. Aku terpaksa membebatnya dengan sobekan baju dan menunggu darahnya mengering sendiri. Aku tahu itu bisa menyebabkan infeksi tapi asalkan darahku berhenti mengalir itu sudah cukup. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada bola mata kiriku, hanya bahwa ia telah hancur. Apalagi dengan anemia aplastik yang kuidap dari kecil, aku terus menerus mimisan hari itu.

Aku ingat aku pernah numpang tidur di luar rumah seorang anak laki-laki bermata safir. Aku yang mengintip jendela iri dengan mereka yang bisa makan layak, bermain dan mendapat kasih sayang orangtua.

2 tahun kemudian, aku masih mencopet, tapi ada sebuah pencurian yang amat bermakna bagiku.

Saat itu aku mencopet dompet seorang mantan tentara. Secepat apapun aku berlari, mana mungkin anak 6 tahun bisa mengalahkan seorang mantan tentara. Jadi aku tertangkap.

Entah kenapa, orang itu tidak membawaku ke kantor polisi. Dia malah membawaku ke rumahnya dan menanyakan soal bebat kain di mata kiriku. Aku tak terlalu ingat, tapi seingatku dia berhasil membukanya. Tentu saja dia kaget. Mata kiriku bisa mengagetkan hampir semua orang, karena itu aku menutupinya.

Aku menceritakan semuanya karena diancam diserahkan pada polisi. Entah kenapa, matanya berkaca-kaca. Pria itu memelukku. Aku hanya bisa ingat, kalau pelukan itu...

Rasanya... hangat.

Pria itu merawatku. Akhirnya aku bisa merasakan hangatnya tempat yang bernama 'rumah'. Akhirnya aku bisa merasakan nikmatnya makanan yang layak. Akhirnya, penderitaan yang kualami selama menjadi anak jalanan berakhir.

Pria itu mengajarkan tentang agama yang dianutnya. Namanya 'islam'. Aku memeluk islam beberapa bulan setelah pria itu memutuskan merawatku.

Pria itu memutuskan aku harusnya sekolah, jadi aku disekolahkan. Semua orang ingin tahu apa yang kusembunyikan dibalik bebat kain hitam di mata kiriku, tapi aku melarang semuanya. Kalau mereka tahu apa yang ada dibalik bebat ini, mungkin mereka akan pingsan berjama'ah. Wajar masih kecil.

Room 309's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang