"Pujaaa." Samar-samar suara lembut Iyan menyusup dan menarikku dari alam bawah sadar. Kurasakan ada telapak tangan yang menepuk pipiku. Pelan-pelan aku membuka mataku lalu menguap.
Aku mengucek mataku lalu mengerjapkannya beberapa kali. Sadar masih bersandar pada pundak Iyan, aku langsung bangkit. Kulihat beberapa orang mulai keluar dari bus. Iyan mencengkam kedua lengan atasku dan memapahku keluar bus, takut aku jatuh katanya.
Aku menyapukan pandanganku pada sekeliling, saat ini aku berdiri di sebuah bangunan yang tak asing lagi. Gedung SMA Semesta. Aku celingukan mencari keberadaan ayahku.
"Nian, nih tas lo," ujar Bani. Aku mengambil tasku dari tangan Bani dan tak lupa mengucapkan terimakasih. Tak lama Bani pun pamit pulang karena kakaknya telah menjemput.
"Lo pulang sama siapa?" tanya Iyan yang masih berdiri di dekatku, namun pegangannya entah sejak kapan turun dari lengan atasku.
"Nunggu ayah," jawabku masih celingukan.
"Ayah lo mana?" tanya Iyan ikut celingukan.
"Nggak tahu, belum ke sini deh kayaknya."
Iyan kembali celingukan lalu pergi entah ke mana, meninggalkanku sendiri di tengah kerumunan siswa yang sebagian dari mereka tak aku kenali.
Aku berdengus dalam hati. Maksud Iyan apa, kenapa ia meninggalkanku sendiri? Menyebalkan!
Aku menoleh ke arah gerbang, menanti-nanti kehadiran ayah walaupun aku ingat sekali bahwa aku tidak memberitahu ayah jam berapa aku sampai di sekolah. Ayah mungkin tak tahu saat ini aku sudah di SMA Semesta.
Beberapa orang pergi meninggalkan gerbang sekolah. Ada yang pulang bersama orang tua, ada juga yang pulang sendiri dengan mengendarai motor yang mereka tinggalkan di sekolah sebelum berangkat camping. Dan beberapa orang lagi pulang dengan menaiki kendaraan umum seperti taksi, ojeg dan angkot.
"Nih!" Tiba-tiba Iyan sudah berada di sampingku dan menyodorkan sebuah ponsel padaku.
"Hp siapa ini?" tanyaku sinis. Setahuku dia tidak membawa ponsel.
"Hp--"
"Iyaaan!" teriakan Disa menghentikan penjelasan Iyan. Disa berlari dengan raut wajah kesal ke arah kami. "Iyan hp gueee!"
"Oh jadi ini hp lo?" tanyaku yang kini sudah memegang ponsel pemberian Iyan.
"Iya," jawab Disa.
"Pinjem bentar, Puja sekarang lo hubungin bokap lo, tahu nomornya kan?" tanya Iyan. Aku tertegun sejenak lalu menoleh pada Iyan. Tak disangka, ternyata dia pengertian juga. Eh! Apaan sih!
Aku menepis semua pikiran positifku tentang Iyan. Bagiku Iyan hanya pria menyebalkan tak lebih. Aku beralih melirik Disa.
"Boleh 'kan?" tanyaku enggan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Yang Tersesat [Completed]
Teen FictionTentang kita yang sama-sama tersesat di hubungan yang salah. Tapi ... Bukankah di dalam cinta tak ada yang benar dan salah? *** "Kenapa lo ngejadiin kecantikan sebagai tolak ukur? Percuma good looking juga kalo bad ahlak." "Tapi dia itu akhlaknya ju...