28. Untuk kedua kalinya

43 9 0
                                    

  

Sampailah aku dan rekan wartawan mading yang lain di depan SMA Bakti Mutiara. Tempat diselenggarakannya lomba sastra di penghujung bulan Oktober ini. Tempatnya tak terlalu jauh dari SMA Semesta, hanya naik angkot beberapa menit saja langsung sampai.

Setiap akhir bulan Oktober, dari sekolahku selalu mengirimkan perwakilan untuk mengikuti lomba sastra. Lomba-lombanya meliputi lomba cipta puisi, lomba baca puisi, lomba monolog, lomba resensi, lomba menggambar dengan tema yang sudah ditentukan, lomba cipta cerpen, dan yang paling seru persembahan drama atau lomba teater.

  Sekolahku mengirimkan beberapa siswa untuk mengikuti semua lomba dan khusus untuk persembahan drama diserahkan kepada ekstrakulikuler teater.

  Aku tak sabar ingin melihat lomba-lomba tersebut. Khusus untuk lomba cipta puisi, resensi, dan cipta cerpen hanya mengirim hasil kerjanya lewat email dan tak perlu hadir.

  Aku, Syeira, Digo dan Reon saling membagi tugas sebelum memasuki SMA Bakti Mutiara. Lalu mulai memasuki gerbang sekolah.

"Pak, kami perwakilan wartawan mading dari SMA Semesta izin untuk meliput kegiatan lomba di dalam sekolah ini," tuturku sambil menyodorkan kartu identitas wartawan mading milikku pada penjaga sekolah.

Penjaga sekolah tersebut mengecek kartu identitasku dengan sangat teliti.

"Ada surat dari sekolah asal atau surat undangan dari panitia penyelenggara lomba?" tanya sang penjaga sekolah.

"Eh ada, sebentar." Syeira langsung melepas sebelah gendongan tasnya dan mengambil sebuah kertas dari tasnya. "Ini, Pak. Surat undangan dari pihak panitia.

"Yasudah silahkan masuk."

Aku, Syeira, Digo dan Reon memasuki SMA Bakti Mutiara. Aku sering melewati SMA ini tapi baru kali ini aku memasukinya dan ternyata begitu indah.

Begitu masuk, kami langsung disuguhkan taman yang cukup indah dekat lapangan utama.

"Lewat sini," perintah Syeira. Ia memimpin jalan karena hanya ia lah yang tahu tentang sekitar sekolah ini. Selain karena dulu pernah mendaftar ke sekolah itu, ia juga punya teman yang bersekolah di sekolah itu. Aku, Digo dan Reon mengikutinya dari belakang.

"Di mana sih lombanya?" tanya Digo.

"Di Aula," jawab Syeira.

"Loh kenapa nggak di lapang utama aja?" tanya Reon. Aku tak begitu mempedulikan percakapan mereka, rasa kantukku kembali datang. Sejak tadi aku hanya menguap sampai-sampai mataku berair. Semoga saja aku bisa fokus saat meliput nanti.

"Lombanya tertutup. Yang ngeliat cuman panitia sama juri aja. Yang diperbolehkan masuk hanya wartawan mading saja. Jadi kita sangat beruntung," tutur Syeira.

Langkah Syeira pun terhenti di depan persimpangan koridor. Ia seperti menimang-nimang akan lewat mana. Koridor begitu sepi. Karena seluruh siswa tengah melaksanakan kegiatan belajar mengajar.

"Udah ini ke mana?" tanya Digo.

"Nggak tahu. Bentar gue telepon Nina dulu, temen gue yang sekolah di sini," ucap Syeira. Ia meraih ponselnya dan mulai menelepon. Sedangkan aku duduk di sebuah tempat duduk di dekat sana. Aku memijat pelipisku dan kembali menguap. Mataku mulai terasa berat.

"Lo kenapa, sakit?" tanya Reon.

"Enggak, gue nggak papa," jawabku.

"Tapi wajah lo pucet loh."

"Oh ya? Gue cuma ngantuk aja kok."

"Guys ayo!" ucap Syeira. Ia kembali menunjukkan jalan Reon dan Digo kembali mengikutinya.

Kita Yang Tersesat [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang