"Nian!"
Deg.
Sial, itu Bara. Dia berjalan ke arahku. Sesak kembali berkecamuk, padahal kemarin sempat reda. Kenapa semesta sejahil ini padaku. Kenapa harus bertemu di pagi mendung yang indah ini. Kuharap di sekitar sini ada Iyan dan dia akan menyelamatkanku dari situasi ini.
Dari tempat Bara berjalan ke arahku hingga tempatku berdiri tak ada persimpangan, hanya lorong sepi yang lurus. Dulu aku ingin hal semacam ini terjadi, kelihatannya romantis, dia seakan menyambut kedatanganku. Tapi tidak untuk saat ini!
Aku berusaha untuk tak mempedulikan Bara. Aku berjalan dengan tatapan lurus ke depan, seakan tak ada siapapun di dekatku.
Jarak kami semakin dekat.
Bara berhenti tepat di hadapanku dengan senyuman ramahnya ia melambaikan tangan ke arahku. Namun bersama ribuan sesak yang kupikul, aku berlalu begitu saja melewati Bara.
Maafkan aku, kamu yang salah dari awal.
Namun sebuah tangan melingkar di pergelangan tanganku. Aku menghentikan langkahku lalu berbalik.
"Kamu masih marah sama aku?" tanya Bara dengan ekspresi yang malang. Ingin rasanya aku memaafkannya dan melupakan semua yang terjadi lalu bertingkah seolah tak pernah terjadi apa-apa. Namun itu tak mudah, di sisi lain masih banyak pecahan hati yang harus kembali kurapikan.
"Kamu pikir aja sendiri," jawabku tanpa berani menatapnya. Aku diam, tak berontak saat tanganku masih digenggamnya. Jujur, aku tak ingin genggaman ini lepas.
"Aku minta maaf." Bara menggenggam telapak tangan kananku dengan kedua tangannya, bertingkah seakan akulah satu-satunya cinta di hidupnya.
"Aku nggak bermaksud bohongin kamu, aku yakin kalau kamu tahu hubunganku dan Aqila, kita bakalan renggang kaya' gini," jelas Bara tampak sungguh-sungguh. Aku sempat percaya dengan kesungguhan itu, salah dia karena telah merusak kepercayaan itu.
Aku memberanikan menatap matanya, memperlihatkan sebesar apa kecewaku padanya.
"Tapi kalau aku tahu lebih awal dari mulut kamu sendiri, semuanya nggak akan sesakit ini. Karena aku suka sama kamu!" beberku emosi.
"Iya aku tahu, aku minta maaf." Bara memelas dan menggenggam tanganku lebih erat.
Aku kembali memalingkan wajahku. Mataku mulai terasa panas dan perlahan air mata mulai menggenang di pelupuk mataku, menghalangi pandanganku. Sekuat mungkin aku menjaga agar air mata itu tak jatuh, bersama pedih yang hinggap jauh lebih menyakitkan dari sebelumnya. Kuat Nian!
"Aku tahu ..." Aku kembali berkata dengan suara bergetar, "... mungkin kamu berusaha ngejaga perasaan aku. Tapi ada yang lebih harus kamu jaga perasaannya. Aqila, pacar kamu."
Perlahan aku pelepaskan tanganku dari genggaman erat Bara dan tak sadar beberapa tetes air mata jatuh begitu saja.
"Tapi kita masih temenan kan?" lirih Bara.
Bara stop! Semakin kamu seperti ini, semakin membuatku berat untuk melepasmu.
"Apa alesan kamu masih mau temenan sama aku?" tanyaku sambil menatap lekat mata Bara. Entahlah, aku kembali dibuatnya berharap. Berharap dia memiliki perasaan yang sama denganku walau kenyataannya dia milik gadis lain yang jauh lebih baik dariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Yang Tersesat [Completed]
Teen FictionTentang kita yang sama-sama tersesat di hubungan yang salah. Tapi ... Bukankah di dalam cinta tak ada yang benar dan salah? *** "Kenapa lo ngejadiin kecantikan sebagai tolak ukur? Percuma good looking juga kalo bad ahlak." "Tapi dia itu akhlaknya ju...