Satu demi satu anak tangga kuturuni perlahan, setiap langkahku rasanya berat. Bertemu Bara beberapa detik saja sudah membuat hidupku hampa di detik berikutnya hingga berjam-jam lamanya. Bahkan mungkin bisa sampai berhari-hari.
Aku sempat berniat untuk pindah sekolah saja, namun aku tak boleh egois. Bisa bersekolah di sini dengan jalur beasiswa saja sudah Alhamdulillah. Jika aku pindah ke sekolah lain, itu akan sangat membebani ayah.
Langkahku terhenti di depan ruang mading. Aku duduk di sana seorang diri. Tempatnya cukup sepi, tempat yang tepat untuk menenangkan diri.
Atau mungkin aku salah? Situasi ini semakin membuatku teringat Bara. Tempat yang sepi ini, malah membuatku melamun dan kembali berasakan sakit yang ditorehkan Bara.
Pantas saja kemarin Iyan membawaku ke pasar. Itu cukup ampuh untuk menghilangkan kesedihanku. Ngomong-ngomong Iyan di mana sih? Sejak tadi tak terlihat batang hidungnya.
Apa jangan-jangan dia tidak kembali ke sekolah alias bolos?
Tidak bisa dibiarkan. Aku harus mencarinya, entah kenapa tapi aku merasa saat ini hanya dia yang kubutuhkan.
Setelah beberapa saat berjalan, sampailah aku di depan kelasnya. Aku langsung diam mematung saat melihat Iyan tengan berbincang bersama Bani di depan kelas. Aku mendadak gerogi dan enggan mendekatinya. Sebelum Iyan melihatku, aku memutuskan untuk berbalik, kembali pergi.
"Nian!"
Sial, Bani malah memanggilku. Dengan gerakan pelan, aku kembali berbalik.
"Mau ke mana?" tanya Bani.
"Nggak kok, jalan-jalan aja," jawabku kikuk.
"Aneh lo, galau lagi ya?" celetuk Iyan.
"Galau?" heran Bani.
"Iya galau, broken heart." Iyan mempertegas.
"Wih seru nih. Sini dong cerita-cerita!" ajak Bani.
"Enggak kok," jawabku sambil tersenyum kikuk. Aku memang ingin bercerita, tapi bukan pada Bani. Aku malu.
"Aku duluan, ya," pamitku.
"Ke mana?" tanya Iyan.
"Ruang mading."
"Oke," jawab Iyan.
Aku lekas pergi kembali ke ruang mading, duduk di teras mading. Beberapa orang berlalu-lalang di depanku, sebagian dari mereka menyapaku dengan ramah. Aku membalas sapaan mereka dengan ramah pula lalu kembali murung saat mereka berlalu.
"Duh, maaf nunggu lama ya?" ucap Iyan yang tiba-tiba datang, ia duduk di dekatku.
"Ngapain lo ke sini?" sinisku.
"Nemenin lo lah. Dari muka lo yang masam itu kelihatan banget lagi galau. Lo diapain lagi sama Bara?"
"Diacak-acak," jawabku lesu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Yang Tersesat [Completed]
Teen FictionTentang kita yang sama-sama tersesat di hubungan yang salah. Tapi ... Bukankah di dalam cinta tak ada yang benar dan salah? *** "Kenapa lo ngejadiin kecantikan sebagai tolak ukur? Percuma good looking juga kalo bad ahlak." "Tapi dia itu akhlaknya ju...