"Mas, kebutuhan kita itu setiap harinya bertambah, sedangkan penghasilan kamu nggak nentu gini. Hutang makin banyak ke mana-mana. Aku capek kayak gini terus, Mas! Kalo gini terus, lama-lama mending kita pisah aja. Aku bawa Dio. Nian sama Ola kamu yang urus!" bentakkan ibu meledak-ledak dengan kerasnya. Dadaku terasa sesak mendengar semua pertikaian itu. Untuk kesekian kalinya keluargaku diluluhlantakkan oleh permasalahan ekonomi.
Aku melirik Neola, syukurlah ia tidur sangat pulas dan tak mendengar pertengkaran ibu dan ayah.
"Sabar, dong. Aku juga kan berusaha," lirih ayah.
"Berusaha apa?! Udah aku bilang cari kerja lain, Mas! Aku nggak mau hidup gini terus. Banyak hutang sana-sini, jadi biang gosip tetangga. Bayar hutang dari hasil pinjeman. Terus aja gali lobang tutup lobang. Pusing aku, Mas!" Lagi-lagi ibu membentak ayah dengan kasar.
"Tapi--"
"Mas mikirin kita nggak sih?! Mas mikirin anak-anak sama aku nggak sih? Kamu pikir enak hidup gini-gini terus?!"
"Udah!" teriakku membentak.
Ayah dan ibu sontak melirikku bersamaan.
"Kalian nggak capek ribut terus? Apa nggak bisa dibicarain baik-baik?" lirihku dengan suara yang nyaris hilang. Mataku terasa panas sampai air mata pun menggenang di pelupuk mataku dan menutupi pandanganku.
"Apa ayah dan ibu nggak mikirin aku, Ola sama Dio? Kita sedih liat kalian ribut terus. Bisa nggak, akur terus demi kita? Demi anak-anak kalian?"
Tetes demi tetes air mata jatuh tanpa bisa kutahan. Ini lebih menyakitkan dari pada patah hati karena cinta.
"Aku nggak betah di rumah ini, aku nggak betah liat kalian ribut terus, aku ..." Kalimatku terhenti. Ini terlalu menyakitkan hingga aku tak kuasa untuk melanjutkan kalimatku.
Dengan pikiran kalut, aku berlari keluar rumah. Menerobos hujan pergi entah ke mana. Aku sakit hati karena Bara, aku benci Iyan dan aku kecewa pada keluargaku sendiri.
Aku berjalan gontai menyusuri jalanan sepi entah di mana bersama tetesan hujan yang masih setia menemani. Aku tak akan pulang. Aku akan pergi mencari kebahagiaanku sendiri. Karena aku tak menemukannya pada cintaku dan juga pada kekuargaku.
Mungkin mengambil jalan yang salah sesekali tak apa-apa. Sumpah demi apapun, isi kepalaku benar-benar kalang kabut saat ini.
Aku menepi di sebuah halte. Duduk di sana untuk meneduh, entah sampai kapan.
Berjam-jam lamanya aku hanya duduk sendiri di halte tersebut. Entah akan seperti apa hidupku setelah ini. Aku masih saja terisak dengan ribuan sesak.
Hujan sudah mulai reda, selang beberapa menit terdengar deru motor yang familiar di telingaku. Aku menoleh, itu Iyan.
"Dicariin ternyata di sini." Iyan memarkirkan motornya di depan halte. Ia membuka helmnya lalu menghampiriku.
"Kenapa lo nyariin gue?" tanyaku ketus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Yang Tersesat [Completed]
Teen FictionTentang kita yang sama-sama tersesat di hubungan yang salah. Tapi ... Bukankah di dalam cinta tak ada yang benar dan salah? *** "Kenapa lo ngejadiin kecantikan sebagai tolak ukur? Percuma good looking juga kalo bad ahlak." "Tapi dia itu akhlaknya ju...