AIRI Point Of View
Aku Airi. Airi Aneeska. Apa nama itu terdengar aneh? Yah, klanku memang tak pernah muncul dihadapan publik karena jumlah kami yang bisa dihitung dengan jari, pun dengan tempat tinggal kami yang selalu jauh dari perkotaan. Aku bahkan tak yakin ada Aneeska lain di teritori tiga dinding ini selain keluargaku dan keluarga Paman Alta-yang sudah tiada.
Kabar buruknya, mungkin aku adalah pewaris terakhir darah Aneeska.
Aku sendirian. Mungkin. Dan kurasa aku memang yang terakhir,-dan sendirian.
Aneeska adalah klan yang istimewa, itu yang selalu diucapkan keluargaku. Secara fisik memang sangat terlihat dan-mencolok, berani taruhan bahwa hanya Klan Aneeska yang memiliki ciri rambut seputih salju dan bola mata berwarna perak. Namun, bukan itu bagian terpentingnya.
Klan Aneeska memiliki kemampuan pendengaran yang sangat tajam melebihi burung hantu sekalipun. Ringkasnya, klanku adalah penghasil manusia dengan kemampuan super hearing, yang mampu mendeteksi suara sekecil apapun dalam radius berkilometer. Terlepas dari itu, tidak semua Aneeska memiliki super hearing yang sama. Pada akhirnya itu bergantung pada kemampuan pemiliknya juga. Singkatnya, itu adalah kemampuan yang harus dilatih untuk mencapai hasil terbaik.
Aku yang dulu selalu menganggap bahwa klanku benar-benar istimewa. Sampai ditahap ketika aku kehilangan segalanya karena ke'istimewa'an ini. Ayahku tiada disaat aku mengandalkannya. Ibuku terbunuh. Keluarga Paman Alta, keluarga angkatku tewas disiksa. Aku sendirian.
"Berhenti melamun, Airi." Gumamku pada diriku sendiri. Aku baru sadar kalau aku sedang meringkuk dibawah pohon oak sambil menutup telinga. Padahal, tak ada suara aneh yang bisa membuat pendengaranku sakit. Hanya ada gemerisik daun dan aliran air samar-samar. Ketika memikirkannya, aku bahkan tak tau kenapa aku bisa sampai meringkuk seperti itu dan sejak kapan.
Sejak aku sendirian, aku merasa kejiwaanku terganggu. Atau aku memang gila.
Aku mendongak saat mendengar geraman samar dari arah barat, tidak terlalu jauh, mungkin setengah kilometer dari tempatku berdiri. Sepertinya seekor serigala yang tengah mengejar...rusa? Kupegang busurku dengan malas dan menyusurui hutan menuju arah geraman. Yeah, aku pemburu di hutan tempatku tinggal. Rasa lapar dan kerakusan para penduduk membuatku bertahan hidup.
Super hearing tidak diragukan lagi menjadi kartu As dalam berburu. Enam belas tahun hidupku, aku mampu mengembangkan super hearingku hingga radius dua kilometer untuk suara orang yang aku kenali dalam frekuensi normal tanpa hambatan. Apa penjelasanku rumit? Begini, jika aku sudah menghafal suaramu, maka aku bisa mendengarmu berbicara dari jarak dua kilometer meski kau tidak berteriak. Karena itu aku hanya berjalan ringan menyusuri hutan karena aku tidak peduli kemana geraman itu pergi, aku masih bisa melacaknya, atau mencari hewan lain untuk kuburu.
Menjelang petang, satu serigala, dan satu rusa menggelepar kesakitan dihadapanku. Kuseret semua hasil perburuanku itu menuju sungai kecil dipertengahan hutan dan menyianginya. Aku menghela nafas saat matahari benar-benar terbenam, menyulitkanku yang masih belum selesai dengan tumpukan daging dan organ hewan yang kuburu.
Beranjak menuju pohon bertanda tali melingkar, aku menaikinya cepat untuk mengambil perkakas berburu dan keranjang khusus daging yang memang sengaja kuletakkan diatas batangnya sebagai alat cadangan, termasuk obor. Hutan ini sudah seperti halaman rumahku, aku tak perlu khawatir tentang pencuri atau apapun. Lagipula, tak ada yang akan khawatir bahkan jika aku tak pulang, kan? Di hutan bukit inipun, hanya aku yang mendiaminya.
Angin malam berhembus cukup kencang, menyadarkanku untuk kembali ke rumah dan tidur, jika bisa tentunya. Menyusuri hutan sendirian dan hanya ditemani cahaya obor, pertanyaan yang sama selalu aku ucapkan meski jawabannya tak kunjung hadir,
"Apa yang harus aku lakukan? Aku... muak bertahan hidup"
---
AUTHOR'S Point Of View
Gadis pemburu berusia enam belas tahun itu baru saja sampai dirumahnya tepat pada jam malam dimulai. Gadis itu hanya menatap 'rumah'nya dengan malas, lalu masuk dengan melewati pintu alami dari tumpukan tumbuhan rambat yang menggantung. Yang disebut 'rumah' oleh gadis itu sebenarnya gua dengan lebar bibir gua sekitar empat meter dan panjang sekitar dua puluh meter.
Kegelapan total didalam rumah tidak membuat nyali gadis pemburu itu menciut, ia dengan tenang melangkah diantara kegelapan, tangannya menjangkau sesuatu ditempat yang ia hafal, kemudian satu persatu obor yang tergantung di kedua sisi gua menyala dan menerangi rumah.
Isi rumah itu lebih sederhana dari kata sederhana. Satu tempat tidur-yang merangkap fungsi sebagai kursi bersantai-dari jalinan bambu berlapiskan kain tebal berbulu berada ditengah ruangan, membagi area menjadi dua bagian.
Satu bagian dibelakang tempat tidur berisi rak kayu setinggi pinggang si gadis, tempatnya menyimpan barang pribadi dan barang peninggalan milik keluarganya. Diatasnya tersimpan alat musik petik, hamburan kertas seperangkat dengan alat tulisnya, dan cermin. Satu bagian didepan tempat tidur berisi meja, kursi, tempat penyimpanan makanan. Sebuah rak dua arah setinggi satu meter berada di bagian depan tempat tidur si gadis, menjadi penyekat sekaligus tempatnya menyimpan beberapa buku dan perkakas. Itu saja.
Rutinitas membosankan selepas berburu adalah menyimpan daging hasil buruan, mengisi perut, menyegarkan diri, lalu tidur. Tapi malam ini seperti malam yang sudah-sudah bagi Airi. Ia kesulitan tidur meski raganya lelah dan indra pendengarannya sudah setengah diblokir dengan benda berbentuk lingkaran yang diselimuti kain tebal dan ganggang kayu yang melingkari setengah kepalanya. Benda itu bagai 'jimat' Klan Aneeska untuk mengurangi kebisingan dari suara yang masuk tak terkontol.
Airi menjangkau beberapa kertas acak dari rak barang pribadinya. Bukan, bukan untuk menulis ataupun membaca agar cepat membuatnya tertidur atau sejenisnya. Kertas itu berisi lukisan-lukisan sederhana dari mendiang keluarga Airi dengan segala macam gaya dan ekspresi yang tersimpan dalam memori Airi. Hasil coretan tangan Airi sendiri. Jemari Airi membelai kertas begitu ringan, cahaya dalam bola mata peraknya perahan meredup berganti kekosongan, lagi.
Dalam insomnia ringannya malam ini, Airi memetik alat musik milik klannya. Sambil bersandar ditempat tidur dan meluruskan kaki sebagai meja bagi alat musiknya, jemari Airi bergerak membuka irama halus yang mengisi keheningan dirumahnya.
Dentingan yang sangat akrab dipendengaran Airi membuatnya rileks dan mengantarkannya pada tidur dengan mimpi indah yang berbeda namun dengan akhir yang sama...
-----
To be continue....
Rimari_putri
KAMU SEDANG MEMBACA
MELLIFLUOUS BEAT I [LEVI X OC] I SHINGEKI NO KYOJIN
FanfictionDunia hanya mengenal Asia dan Ackerman, sebagai klan yang dipersekusi oleh Kerajaan. Namun, tidak ada yang tau bahwa Kerajaan sebenarnya telah mempersekusi tiga klan. Asia, Ackerman, dan Aneeska. Nama klan itu telah tenggelam sejak seratus tahun yan...