DETAK KE 9 - IDENTITAS

746 113 4
                                    

AIRI Point Of View

Satu putaran panjang bersama dengan pedangku yang menyeret salju akhirnya mengakhiri tarian yang menenggelamkanku dalam euforia selama empat jam terakhir. 

Uap-uap tipis dari nafasku yang tenang dan teratur mengaburkan pandanganku yang tengah mendongak menatap langit.

Sesaat setelah itu, indra pendengaranku menstransmisikan hiruk pikuk dari lima manusia disana. Mereka menunggu sambil menatapku, membuatku yang baru saja merasakan kelegaan kembali menghela nafas karena harus mengurusi masalah ini.

Apa yang harus kukatakan?

Melihatku yang mulai merapikan perkakas Festival yang tergantung pada pilar dan juga qin, kelimanya beranjak mendekat. Segera kusampirkan kembali jubah gading pada pundakku, dengan posisiku yang membelakangi mereka, kutarik nafas panjang sepelan mungkin, kemudian berbalik.

Tetapi yang mengejutkanku adalah, suara langkah yang berlari.

"Nee... Iria-san, bagaimana kau bisa menari selama itu? Empat jam! Empat jam penuh dimusim dingin yang beku! Nee... Apa kau tidak sesak nafas? Tidak kedinginan? Bolehkah aku memegang tanganmu?" 

Pertanyaan beruntun itu dilontarkan wanita berkacamata yang waktu itu. Saat ini pun binar dimatanya masih membuatku merinding, memaksaku yang tidak siap dengan keagresifannya mundur hingga menabrak pohon dibelakangku.

Aku bahkan tidak sempat bereaksi ketika tangannya menggenggam tanganku sebelum ia melepaskanya dan berteriak 'sedingin es!'

Kegilaan wanita itu akhirnya berhenti oleh sipirang alis tebal dan sipirang berkumis. Kerutan pada alisku memudar setelah beberapa patah kata basa basi dari sipirang alis tebal, yang tidak kubalas dengan apapun selain wajah stagnan.

Aku masih tidak tau apa yang harus katakan.

Dan hal itu mendorongku untuk diam meskipun sipirang itu sudah berusaha untuk membangun komunikasi, atau menawariku bantuan untuk membawakan qin dan perkakas Festival di pundakku. 

Aku bisa mendengar decakan dari pria itu, atau irama detak jatung yang memanas dari beberapa orang yang kesal karena aku mendiamkan ocehan sipirang.

Perjalanan menuju rumah terisi oleh komunikasi satu pihak, hingga aku menghentikan langkah karena mendengar sesuatu dirumah. Sipirang yang menyadari itu menjelaskan bahwa itu adalah dua bawahannya yang lain. Yakin bahwa tidak ada plot yang direncanakan, aku meneruskan langkah. 

Hingga saat aku akan memasuki rumah bagian dalam, ketujuh orang itu masih mengikuti, membuatku mengerutkan alis. Menghentikan langkah, kubalikkan tubuhku menghadap mereka.

"Keluar,"

Itu kata pertama yang aku ucapkan setelah semua ini. Persetan dengan sopan santun yang harusnya kuberikan karena mereka tidak mengacaukan Festivalku. 

Aku tidak peduli. Aku bingung.

"Keluar." Ucapku lagi.

Merasa jengkel karena enam orang itu mulai mengeluarkan pisau, aku melanjutkan, "Aku ingin berganti pakaian, apa kalian masih ingin disini?"

Hening sesaat, sebelum semuanya keluar.

Menghela nafas, segera kulepaskan semua riasan dan baju ini. Merapikan diri dalam mode biasa. Usai memantapkan diri didepan cermin, aku mulai mengitari ruangan dengan langkah kaki sepelan mungkin, memperhatikan setiap detail benda yang tersusun.

Mereka tidak memasuki ruangan ini? Tanyaku dalam hati.

Semua benda berada ditempatnya. Tidak ada tanda-tanda seseorang telah mengambil sesuatu dari ruangan ini. Lega, aku menyisipkan pisau lipatku dibalik lengan baju, juga beberapa jarum perak yang kusembunyikan dirambut.

MELLIFLUOUS BEAT I [LEVI X OC] I SHINGEKI NO KYOJINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang